Semenjak 17 Agustus 1945, Indonesia Oleh Soekarno menyatakan diri untuk menjadi negara berdaulat, Negara yang bebas menentukan nasibnya sendiri, Negara yang bebas mengatur masyarakatnya sendiri tanpa campur tangan asing manapun, karena kedaulatan Indonesia sudah diakui Internasional berikut dengan batas – batas wilayahnya baik darat maupun laut.
Kita tahu bahwa Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah (PR) menyoal garis perbatasan, khususnya perbatasan laut, mengingat sedikitnya masih terdapat 12 pulau yang perlu mendapat perhatian dan menjadi titik dasar penarikan garis perbatasan teritorial "Misalnya Pulau Batek yang terletak di perbatasan Indonesia-Timor Timur. Hingga kini masih belum ada pembicaraan di antara kedua negara mengenai bagaimana kesepakatan yang diambil untuk mengelola wilayah tersebut, seperti Blok Ambalat yang kini menjadi wilayah sengketa RI-Malaysia, kawasan itu juga kaya akan kandungan minyak
Sumber di Departemen Luar Negeri RI menyatakan, 12 pulau yang masih rawan adalah Pulau Rondo (NAD) berbatasan dengan India, Pulau Berhala (Sumut) berbatasan dengan Malaysia, Pulau Sebatik (Kaltim) berbatasan dengan Malaysia, Pulau Nipa (Riau) berbatasan dengan Singapura, Pulau Sekatung (Riau) berbatasan dengan Vietnam. Pulau Miangas dan Pulau Marore (Sulut) berbatasan dengan Filipina, Pulau Fani, Pulau Fanildo, Pulau Bras (Papua) berbatasan dengan Palau, Pulau Asutubun dan Pulau Wetar (Maluku Tenggara) berbatasan dengan Timor Timur dan Pulau Batek (NTT) berbatasan dengan Timor Timur. Luas pulau-pulau itu berkisar antara 0,02-200 Km2 dan hanya 50 persen di antaranya yang berpenghuni.
Pada kasus Penempatan patok-patok batas antara Negara RI dan Malaysia sebagian besar berada di daerah yang sulit untuk dijangkau, sehingga untuk mencapai kedudukan patok-patok tersebut dibutuhkan alat transportasi khusus, misalnya helikopter. Dengan demikian kecil sekali kemungkinannya patok-patok tersebut dipindahkan. Apalagi jumlah patok yang dipasang di daerah perbatasan sangat banyak dan cukup rapat, dalam 1 Km terdapat kurang lebih 50 patok. Siaran Berita TNI Angkatan Darat yang dikirim ke Pelita, Jum'at (18/3).
Disamping itu, kedua negara memiliki peta (field plan/peta kerja) yang telah disetujui kedua belah pihak yang berisikan koordinat patok-patok perbatasan tersebut, sehingga apabila patok-patok tersebut berpindah tempat atau dipindahkan dengan sengaja maka patok tersebut dapat dikembalikan ke tempatnya semula (direkonstruksi kembali).
Penjelasan tentang garis batas antara kedua negara yakni Dasar Hukum. Pedoman dalam menentukan Batas Darat NKRI dengan Kerajaan Malaysia adalah The Boundary Convention, ditandatangani di London antara Pemerintah Belanda dengan Inggris tanggal 20 Juni 1891. The Boundary Agreement, ditandatangani di London antara Pemerintah Belanda dengan Inggris tanggal 28 September 1915. The Boundary Convention, ditandatangani di Den Haag antara Pemerintah Belanda dan Inggris tanggal 26 Maret 1928. MoU yang ditandatangani pada tanggal 26 November 1973 antara Indonesia dan Malaysia.
Parameter Penetapan Batas. Mengacu pada dasar hukum tersebut ditetapkan bahwa parameter penetapan batas antara RI-Malaysia dibatasi dua hal, yaitu penetapan batas secara alami dan batas artifisial atau batas astronomis yang ditetapkan dengan garis lurus/straight line dengan garis lintang.
a. Batas alami yaitu, yang pertama batas yang terbentuk oleh garis pemisah air (watershed) yang merupakan rangkaian punggung gunung yang tidak terpotong oleh adanya aliran sungai dan kedua merupakan aliran sungai (middle line atau thalweg) yang merupakan batas antarnegara.
b. Sedangkan garis batas astronomis, yaitu ditetapkan dengan menentukan garis 4 derajat 10" LU yaitu Pulau Sebatik (karena Pulau Sebatik terbelah dua), yaitu bagian selatan 4 derajat 10" LU adalah milik RI, sedangkan di utaranya adalah milik Malaysia.
Adapun penyebab terjadinya permasalahan perbatasan yang timbul antara Negara Republik Indonesia dengan Malaysia adalah:
Kurangnya sosialisasi tentang tugu-tugu batas di garis batas kepada masyarakat wilayah perbatasan.
Permukiman penduduk di daerah perbatasan pada umumnya jauh dari garis batas, sehingga sering salah penafsiran tentang batas yang sesungguhnya (exact location) oleh penduduk di wilayah perbatasan.
Sebagian besar dari garis batas merupakan tugu-tugu yang terletak di watershed (rangkaian/punggung pegunungan), sehingga sulit dijangkau dan sekaligus sulit dikenali oleh penduduk setempat.
Karena kurun waktu yang demikian lama, tugu-tugu batas banyak yang hilang, rusak (miring, roboh dan tidak sempurna bentuknya) karena kegiatan manusia dan alam.
Adanya tugu-tugu lain yang bukan merupakan tugu batas di dekat garis batas, misalnya tugu perkebunan, tugu BPN baik RI maupun Malaysia. Hal tersebut menyebabkan kerancuan tentang keberadaan garis batas.
Akar permasalahan dari kasus-kasus perbatasan adalah kepentingan terhadap sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati yang terbentang di wilayah itu. Karena di laut, penanganannya pun akan menjadi lebih sulit dan mahal ketimbang di darat.
untuk menangani batas laut upaya harus diarahkan pada peningkatan pemberdayaan 92 pulau kecil terluar karena pada pulau-pulau itulah negara meletakkan titik dasar yang dilegalkan melalui Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografi Titik-titik Pangkal Kepulauan Indonesia, namun PP itu harus diubah sebab masih memuat Pulau Sipadan dan Ligitan.
Hal itu berarti, pulau-pulau tersebut menjadi batas penentu kepastian tiga jenis batas di laut, yaitu batas teritorial laut (berhubungan dengan kepastian garis batas di laut), batas landas kontinen (berhubungan dengan sumber daya alam nonhayati di dasar laut), dan Zona Ekonomi Eksklusif (berhubungan dengan sumber daya perikanan).
Pemerintah Indonesia, kata AM Fatwa, anggota DPR yang juga Wakil Ketua MPR RI, menekankan agar belajar dari pengalaman sengketa perbatasan itu. "Pemerintah agar lebih memperhatikan pulau-pulau atau wilayah wilayah perbatasan yang rawan konflik teritorial," katanya.
Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan, lanjutnya, merupakan pelajaran berharga bagi Indonesia akibat dari tidak adanya kepedulian pemerintah di dalam menangani pulau tersebut, mengingat bila acuan awalnya pada perjanjian tanggal 20 Juni 1891 antara Belanda-Inggris yang membelah Pulau Sebatik, Indonesia mempunyai hak atas kedua pulau itu.
Indonesia memang harus melepas Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional pada 17 Desember 2002, bukan atas dasar hukum ataupun sejarah yang kurang kuat dan mendukung, melainkan alasan politik karena Indonesia dianggap tidak menunjukkan keinginan untuk menguasai kedua pulau itu dengan bukti tidak ada penguasaan secara efektif (effectivites/effective occupation).
Alex SW Retraubun menyatakan salah satu upaya yang telah diusulkan departemennya adalah mengusulkan penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) tentang pengelolaan ke-92 pulau kecil terluar Indonesia. Rancangan Keppres itu telah diajukan Departemen Kelautan dan Perikanan sejak pemerintahan Megawati, saat kasus Sipadan dan Ligitan menghangat. Namun hingga pemerintahan yang sekarangpun Keppres itu belum diterbitkan.
Ditandaskan Alex, Keppres itu merupakan landasan sekaligus aksi nasional pengembangan pulau kecil terluar. Harus disadari, katanya, masalah pulau kecil terluar memiliki spektrum luas tidak hanya sebatas aspek ekonomis, tapi yang terpenting adalah aspek politis yang terkait dengan batas wilayah dan keutuhan negara kesatuan RI.
Artinya, penanganannya harus lintas departemen. Hal inilah yang menjadi urgensi perlunya kehadiran keppres itu. Tujuannya untuk mengikat komitmen pemerintah dalam membangun kawasan melalui perencanaan, pengendalian dan pemanfaatan secara terpadu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar