Like this ?

Sabtu, 26 Juni 2010


Pendidikan gratis Vs. Listrik Gratis
Kebijakan populis yang diusulkan Bapak Dahlan Iskhak  nampaknya menyentuh realitas masyarakat kita. Bagaimana tidak, masyarakat miskin sejumlah 20 juta dengan pemakaian  listrik 450 Watt akan memperoleh subsidi 100 %. Artinya masyarakat gratis menggunakan listrik 450 Watt. Pada kenyataannya penulis pernah tinggal bersama beberapa orang di rumah kontrakan dengan peralatan listrik seperti 2 set komputer, setrika, beberapa lampu, TV, Pompa air dengan daya listrik 450 watt. Kemudian di tempat penulis tinggal sekarang beberapa tetangga dengan daya 450 watt bisa dipake untuk TV, Kulkas, Rice Cooker, setrika, dan beberapa lampu. Beberapa kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa  daya 450 watt tidak selalu menyasar kepada orang miskin. Ekonomi menengah, kenyataannya dapat menikmati maksimal daya listrik ini dengan  harga subsidi.
Belajar dari Kihajar Dewantara bahwa Jer Basukhi Mawa Bea, artinya jika mau kehidupan yang lebih baik harus berkorban  atau memerlukan biaya. Nabi SAW juga memberikan analoginya : Tuntutlah ilmu jauh sampai kenegeri China, artinya untuk sampai ke negeri China membutuhkan Unta atau kendaraan serta bekal yang cukup. Ketika listrik untuk orang miskin digratiskan artinya rakyat tidak perlu membayar untuk memanfaatkan energi listrik perlu dilakukan survey rakyat yang mana yang benar – benar membutuhkan listrik gratis karena pada kenyataannya listrik daya 450 watt tidak hanya milik orang yang benar – benar miskin. Barangkali bukan gratis bahasanya tetapi hitungan yang terjangkau untuk rakyat.
Pencurian listrik dan tunggakan pembayaran menjadi penyebab utama meruginya PLN tidak bisa dibiarkan begitu saja. Harus diseleseikan sebelum rakyat berpesta menikmati listrik gratis. Bagaimana tidak listrik yang bayar dan bersubsidi saja banyak yang illegal apalagi yang gratisan. Belum lagi melihat masa depan energi bumi kita. Pemerintah di satu sisi menggalakkan gerakan hemat energi, mencari alternatif energi terbarukan, energi hijau ramah lingkungan yang risetnya saja bisa banyak menelan anggaran. Apa yang menjadi indikator hemat energi kalau sesuatu yang harus dihemat itu untuk sebagian orang digratiskan.
Rakyat akan menikmati bentuk subsidi lain berupa sekolah gratis, tapi seperti yang fenomena yang terjadi sekarang sekolah untuk negeri “gratis” dibarengi dengan macam- macam pembayaran: buku, fotocopy, raport, daftar ulang, seragam, dll. Bahkan sekarang  yang terjadi di daerah, adanya standarisasi RSBI (Rintisan Sekolah berstandar Internasional)  menjadi SBI memberikan peluang seluasnya atas kontribusi masyarakat. Sehingga muncul istilah “Sekolah Negeri favorit  bayarnya semahal swasta elit” kalo sudah seperti ini dimana akses orang miskin mendapatkan sekolah layak dan bagus terutama untuk anak – anak miskin yang memiliki kemampuan kecerdasan.
Untuk menjadi sekolah RSBI dan SBI salah satu yang menjadi indikator ialah adanya fasilitas sekolah yang memadai seperti Laboratorium, komputer, LCD, bahkan sampai AC demi kenyamanan standarnya Internasional. Terutama untuk kondisi listrik didaerah  yang selalu “byar pet” indikator tersebut akan menjadi kendala utama. Standarisasi sekolah dampak globalisasi inipun perlu dipertanyakan apakah pelaksanaannya memang benar sesuai dengan tujuan dasar pendidikan dan Undang – Undang Dasar 1945 yang menjadi sumber perundangan negara. Atau memang semakin menjauhkan dari budaya dan karakteristik bangsa. Listrik gratis untuk pendidikan gratis paling tidak ada kebijakan dan keutamaan kemudahan akses listrik untuk institusi pendidikan baik akses daya maupun harga.
Bontang, 25 Juni 2010
Penulis sekarang aktif sebagai pendidik