Like this ?

Sabtu, 15 Juni 2013

MENDIDIKAN KARAKTER RAMAH LINGKUNGAN BAGI ANAK USIA SEKOLAH

A. PENDAHULUAN PERSPEKTIF AGAMA TENTANG PENDIDIKAN LINGKUNGAN Ar Ruum – 30 : 41. “Telah tampak kerusakan di darat dan dilaut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Al Qashash – 28 : 77. Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Al A'Raaf 7 : 56. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. Kehidupan manusia di bumi digambarkan dalam Al-Quran adalah tidak kekal. Suatu saat nanti, ketika bumi diguncang dan semua benda yang ada porak-poranda dan binasa, manusia akan dibangkitkan dari kematiannya untuk dimintai pertanggung jawaban atas apa yang telah dilakukannya di dunia. Sebuah petunjuk yang bermakna bahwa perbuatan manusia semasa hidup di dunia haruslah bernilai baik bagi semesta alam jika ingin bernasib baik di dunia dan akherat nanti. Oleh karena itu, merawat alam merupakan perintah yang mesti dikerjakan setiap muslim. Innahu kahu kaana zuluman zahuula. Bahwa manusia itu bodoh dan sangat bodoh, karena tindakan manusia yang melakukan tindakan-tindakan yang tidak adil, baik terhadap manusia sendiri maupun terhadap alam semesta. Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa alam ini untuk masa depan manusia. Alam untuk kehidupan generasi yang akan datang sampai tiba saatnya pada hari kiamat. Dalam satu hadist Nabi Muhammad SAW, “Jika sebelum kiamat itu ada satu biji kurma saja ditangan kamu dan kamu bisa menanamnya, maka tanamlah itu.” Hal ini, merupakan isyarat bahwa pada saat-saat yang terakhirpun Tuhan memerintahkan kepada kita untuk bisa menanam dan tidak diperbolehkan untuk berbuat kerusakan. Umat Kristiani (Katholik) tentu mengenal Santo Francis Assisi, atas sikap beliau yang menghormat pada setiap makhuk hidup. Dengan menyaksikan setiap makhluk yang ditemuinya, maka dia melihat ada keberadaan Tuhan. Diriwayatkan pula, St. Francis, dalam sebuah perjalanannya, melihat sekelompok burung, kemudian beliau meninggalkan rombongan, mendatangi kelompok burung tersebut lalu membacakan firman Tuhan dan berdoa:” Saudara-saudaraku para burung, seharusnya kalian bersyukur kepada sang Penciptamu, dan mencintaiNya, Dia memberimu bulu yang indah sebagai pakaian, serta sayap yang membuatmu dapat terbang kemana pun yang kau mau. Tuhan telah memberikan kekuasaanya atasmu dibandingkan ciptaanNya yang lain, memberimu ruang gerak di udara segar, sehingga saat terbang kamu tidak Bagi para pemimpin agama, kesadaran terhadap lingkungan bukan merupakan suatu yang baru. Inisiatif pertama kali menggalang kesadaran pemimpin agama tersebut diadakan di Assisi, Italia. Pertemuan yang diadakan oleh World Wildlife Fund (WWF) tahun 1986 ini bergiat mengumpulkan seluruh pemuka agama guna menghadapi krisis lingkungan dan konservasi alam yang terjadi di bumi, dan menghasilkan: “Deklarasi Assisi” dimana masing masing agama memberikan pernyataan tentang peran mereka dalam melestarikan alam, yaitu : “Kerusakan lingkungan hidup merupakan akibat dari ketidak taatan, keserakahan dan ketidak perduliaan (manusia) terhadap karunia besar kehidupan.” (Budha). “Kita harus, mendeklarasikan sikap kita untuk menghentikan kerusakan, menghidupkan kembali menghormati tradisi lama kita (Hindu).” “Kami melawan segala terhadap segala bentuk eksploitasi yang menyebabkan kerusakan alam yang kemudian mengancam kerusakannya,” (Kristiani) “Manusia adalah pengemban amanah, berkewajiban untuk memelihara keutuhan CiptaanNya, integritas bumi, serta flora dan faunanya, baik hidupan liar maupun keadaan alam asli,” (Muslim) Pada Millennium Ecosystems Assessment Report (2005) memberitahukan kepada kita, bahwa manusia sekarang ini sedang membinasakan sistem yang menyokong kehidupan mereka sendiri dalam taraf yang mengkhawatirkan. Data-data menunjukkan bahwa manusialah yang menjadi penyebab perubahan iklim, meracuni udara, air, dan tanah, sehingga kesehatan manusia termasuk semua spesies yang ada ikut terancam keberadaannya. Selain itu, ledakan populasi dalam abad 20 dari 2 menjadi 6 milyar penduduk akan menyebabkan kendala yang akan berbenturan dengan masalah sumber daya alam. Para ilmuwan telah mendokumentasikan bahwa kita hidup ditengah ancaman kepunahan periode keenam, yang diindikasikan oleh banyaknya spesies yang punah pertahun. Sekarang ini dinyatakan, lebih dari 10.000 spesies setiap tahun sama dengan lajunya kepunahan spesies dalam 65 juta tahun yang lalu, saat itu terjadi kepunahan Dinosaurus. Sehingga kita sedang mematikan sistem kehidupan kita sendiri di bumi yang mendahului era geologis yang sedang berjalan. Para ilmuwan telah menunjukkan dengan penelitian intensif bahwa planet bumi telah terancam. Selain itu akibat perubahan iklim dan kehilangan habitat dan ekspansi yang dilakukan oleh manusia, kepunahan spesies semakin bertambah tinggi. Sedikitnya ada 15 spesies telah punah dalam 20 tahun terakhir, 12 spesies dapat bertahan hidup karena diperlihara ditangkarkan oleh manusia. Namun, diyakini bahwa sebenarnya spesies yang mengalami kepunahan jumlahnya jauh lebih besar. Lebih dari itu menurut penelitian Global Species Assessment (GSA) dalam Siaran Pers bulan November 2004, sekitar 15.589 spesies yang terdiri dari 7.266 spesies satwa dan 8.323 spesies tumbuhan dan lumut kerak, diperkirakan berada dalam resiko kepunahan. Komunitas agama yang ada selama ini memang taat terhadap ajaran mereka, terlepas apakah juga tidak peduli dengan tingkat kerusakan yang dahsyat seperti sekarang ini? Para pengikut agama yang memahami tentang kritisnya alam, tentu saja memahami bahwa apa yang sedang kita hadapi sebenarnya berhubungan dengan masalah lingkungan dan tantangan-tantangan sosial. Tentu saja tidak pula diragukan bahwa masa depan sistem kehidupan di planet ini sedang terancam. Pertanyaan yang muncul pada persoalan lingkungan dan agama adalah dapatkah manusia bertahan hidup dalam siklus kehidupannya di bumi ini? Sebagaimana teolog Yunani ortodok, John of Pergamon, telah menulis: bahwa sesungguhnya tidaklah mudah untuk menciptakan ‘etika amanah’ dimana kita harus ‘mengelola’ bumi dengan baik. Namun, krisis ini menantang kita untuk memformulasikan kealamiahan kita selaku manusia, secara ontologi. Jika kita tetap berpangku tangan dan terlena menyaksikan keserakahan di atas bumi, bukankah itu berarti rasa keberagamaaan kita telah mati atau setidaknya mulai berkurang? Mengapa Agama-agama sangat terlambat dalam merespon masalah lingkungan? Lalu, apa yang menjadi penghambat keterlibatan mereka dalam ikut berperan? Sudahkah pengorbanan pribadi atau keikhlasan menjadi sebuah tantangan dalam merawat setiap ciptaan Tuhan? Mengapa ada pemikiran sempit yang menjadikan interpretasi yang mengatakan bahwa kehancuran lingkungan sebagai suatu manifestasi berakhirnya bumi? Kita tidak mengesampingkan sisi gelap agama dari sisi adanya kekerasan dan sektarianisme. Namun, agama mempunyai berbagai pembentuk budaya yang telah berabad-abad dapat memberikan sumbangan dalam memikirkan kembali persoalan yang kita hadapi. Agama telah mengembangkan etika bagi mencegah terjadinya saling bunuh (homicida), membunuh diri sendiri (suicida), atau membunuh suku bangsa lain (genocida); namun, sekarang tantangan agama adalah untuk menghadapi ancaman pembunuhan makhluk hidup (biocide) dan pembunuhan akibat kerusakan lingkungan (ekosida). Jadi, sesungguhnya persoalan lingkungan cukup mewakili untuk memberikan alasan, untuk bisa melibatkan dialog antar agama. Hal mendasar lagi adalah keberadaan bumi itu sendiri dimana agama menghormati kesucian dari ciptaan yang dikaruniakan untuk ummatnya. Saling merasa berbagi dalam menghadapi meluasnya krisis lingkungan, tentunya merupakan sebuah momentum untuk menghadirkan agama dalam bersama-sama memikirkan hal serupa—yaitu masa depan kehidupan di planet bumi, Apa yang terjadi merupakan suatu panggilan agar agama-agama bangkit dan merentangkan kesadaran moral mereka untuk melindungi kehidupan dan mencegah kepunahan akibat peran manusia mengelola bumi. Pada suatu hari, Emil Salim yang waktu itu menjadi Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup saat itu, datang menghadap ulama besar dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof. Haji Abdul Malik Karim Amarullah (HAMKA), dan berharap pada ulama agar dapat memberikan bantuan dalam menyadarkan ummat Islam terhadap lingkungan. Emil mengatakan, “Buya, apa yang bisa dilakukan ummat Islam dalam melestarikan lingkungan hidupnya,” Prof Hamka, dengan arif menjawab: tidak ada yang salah dengan ajaran Islam dalam soal lingkungan hidup. “Tetapi kesalahan terjadi pada bagaimana cara kita mengajarkan Islam kepada masyarakat.” Kata Buya Hamka, umat Islam akan tersentuh jika segala hal praktis dapat langsung dirasakan mereka. Misalnya umat Islam harus shalat lima waktu. Maka diperlukan air wudhu yang mensucikan. Dari mana umat mendapatkan air bersih? Dari sungai yang mengalir dari air tanah yang sah yang memenuhi persyaratan untuk menghadap khaliqnya. Dengan demikian setiap ummat Islam harus memelihara air serta sumber-sumbernya agar mereka bisa beribadah kepada Allah. Jadi wajib hukumnya umat memelihara sumber-sumber air tersebut. Kesadaran transisisi terhadap beragam bentuk dan diversitas budaya dalam pendekatan etika lingkungan mulai mendapat tempat di seantero dunia. Hal ini dikarenakan agama-agama pun mulai sadar bahwa rantai kehidupan sedang terancam. Tradisi monoteistik seperti Yahudi, Kristiani dan Islam menemukan tempat masing-masing di bidang lingkungan. Lalu kegiatan ini diikuti pula oleh pemeluk Hindu, dan Jainisme di Asia Selatan, Konghucu dan Taoisme di Asia Timur, dan Budisme di Asia dan di Barat. Juga dilakukan oleh masyarakat asli di Afrika, Asia, Pasifik, dan penduduk asli Amerika yang kelihatannya juga ikut urun rembuk menyumbangkan kearifan kuno mereka dalam diskusi-diskusi mengenai lingkungan. Semua tradisi ini sedang menuju untuk menemukan rumusan bahasa, simbol dan ritual untuk mendukung penyelamatan bioregion dan spesies. Dalam menuju hal tersebut agama-agama mendatangkan sebuah energi guna memulihkan kehidupan di bumi dalam bentuk praktis, misalnya dengan mengadakan penanaman pohon, perlindungan terumbu karang, dan pembersihan sungai. Upaya ini, sesungguhnya merupakan permulaan untuk menjembatani mereka yang perduli dengan keadilan sosial dan ekonomi dengan mereka yang bekerja untuk pelestarian lingkungan. Di Indonesia, gerakan tradisi Islam untuk menyelamatkan lingkungan upaya sudah pula dimulai dan sungguh mengesankan. Di beberapa tempat, dijumpai proyek inisiatif akar rumput untuk misalnya menanam pohon dengan atas anjuran prinsip praktis ajaran Islam. Harapannya, hal seperti ini mendapatkan perhatian yang lebih luas, karena akan secara efisien dapat diterima dan dimengerti secara luas, baik itu di Indonesia maupun di belahan bumi lain di muka bumi. B. KARAKTER SEBAGAI SUBYEK SIKAP HIDUP RAMAH LINGKUNGAN Sikap atau perilaku masyarakat telah dibentuk sepanjang tahun melalui kebudayaan dan pendidikan. Agama merupakan Ibu dari budaya dan pendidikan. Masyarakat berkarakter ramah lingkungan terbentuk dengan individu – individu ramah lingkungan. Agama dan Budaya yang sudah ada dapat diimplementasikan sebagai sebuah nilai yang bergerak dalam suatu sikap atau perilaku komunal masyarakat. Berdasarkan analisis atas perilaku masyarakat di negara yang pendidikannya sudah maju, membuktikan bahwa mayoritas penduduknya sehari-hari mengikuti/ mematuhi prinsip-prinsip dasar kehidupan sebagai berikut : 1. Etika, sebagai prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari 2. Kejujuran dan integritas 3. Bertanggung jawab 4. Hormat pada aturan & hukum masyarakat 5. Hormat pada hak orang/ warga lain 6. Cinta pada pekerjaan 7. Berusaha keras untuk menabung & investasi 8. Mau bekerja keras 9. Tepat waktu Membangun Karakter Diri ( cara pikir/ cara pandang/ bersikap/ bertindak ) dengan selalu melakukan “perubahan” kearah kompetensi yang unggul. Kekuatan “ Otak ” lebih berperan dari pada “Kekuatan Otot” (Anthony Robin), sedangkan kedua kekuatan ini tidak punya arah tanpa “Kekuatan Hati”. Seperti pepatah berbicara “ Ilmu Tanpa Agama akan Buta, Agama tanpa Ilmu lumpuh! “ (Einstain) FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEINGINAN BERUBAH PADA DIRI MANUSIA menurut Prof. Gay Hendrick & Dr. Kate Ludeman Sikap hidup yang mencerminkan karakter menurut Prof. Gay Hendrick & Dr. Kate Ludeman menjadi kunci perubahan, tidak hanya bertumpu pada pengetahuan ( knowledge) atau ketrampilan hidup ( life skill ). Attitude atau sikap disini menunjukan karakter seseorang, bagaimana bertindak, bagaimana berbicara atau seseorang mengatasi sebuah permasalahan. Hal ini senada juga dengan yang disampaikan Sheal, Peter R.(1989) tentang bagaimana dalam proses pembelajaran dapat merubah sikap hidup/ karakter seperti yang dijelaskan dalam gambar 2 dibawah ini. Proses belajar mengajar dengan metode bermain peran/ role play, bermain simulasi dan mengerjakan hal yang nyata mempunyai peran 90 % untuk di ingat dan nantinya akan dijadikan logika bersikap yang membentuk karakter seseorang. Metode inilah yang diharapkan dapat dididikkan ke peserta didik. C. MERUMUSKAN KURIKULUM FORMAL DAN INFORMAL BERBASIS PENDIDIKAN RAMAH LINGKUNGAN C.1 KURIKULUM FORMAL Pada Garis Besar Isi materi ( GBIM ) Pendidikan Lingkungan Hidup ( PLH ) wilayah Kalimantan menjelaskan kurikulum PLH secara jenjang bertingkat, misalnya dari jenjang SD seperti bagan dibawah ini. Peta Materi Pendidikan Lingkungan Hidup SD/MI Sedangkan untuk jenjang SMA Kurikulum yang telah disusun diatas dalam usaha menerapkannya dapat melalui 1 mata pelajaran tertentu (singular) atau dapat dimasukkan pada setiap mata pelajaran bidang studi yang lain. Masing – masing memiliki kelemahan dan kelebihan, jika PLH menjadi 1 mata pelajaran tertentu maka pemahaman secara sistematik dan pengukuran indikatornya akan mudah, tetapi jika PLH disusupkan kepada mata pelajaran yang lain siswa akan mendapatkan problem solving yang dapat ditinjau dari lintas sektoral. Pemahaman penyeleseian permasalahan interdisipliner sudah diperkenalkan sejak dini tetapi akan sangat sulit mengukur indicator keberhasilannya karena bobot yang berbeda pada masing – masing mata pelajaran. Konsep – konsep kurikulum yang sudah ada perlu penerapan metode pembelajaran, pelibatan peserta didik secara langsung apalagi menegerjakan hal – hal yang nyata, hal – hal yang bersentuhan dengan permasalahan lingkungan hidup disekitarnya baik disekitar sekolah, rumah atau kota tempat peserta didik berada memberikan dampak nyata terhadap cara berpikir, cara membuat paradigma/ sudut pandang memecahkan permasalahan dan akhirnya membawa perubahan sikap/ attitude atau karakter ramah lingkungan yang diharapkan. Program ADIWIYATA untuk sekolah – sekolah Go Green yang digalakkan Kementrian Lingkungan Hidup, senada dengan program – program yang lain seperti ADIPURA, KALPATARU, duta lingkungan, duta sanitasi dan lain – lain, tentunya mempunyai dampak yang positif sebagai reward terhadap peserta didik atau masyrakat. Program – program yang sudah ada perlu dievaluasi lebih mendalam melihat sejauh mana tingkat umpan baliknya terhadap perilaku masyarakat yang diharapkan. Misalnya ADIPURA, jika indicatornya hanya bersih dan indah tanpa diikuti habit/ kebiasaan masyarakat tentunya penghargaan ini hanya bersifat temporal. Karena sasaran sesungguhnya adalah membentuk budaya masyarakat. Kota-kota yang mempunyai target ADIPURA atau sekolah – sekolah yang mempunyai target ADIWIYATA akan menjadi mudah jika mengalokasikan anggaran sejumlah tertentu sesuai target yang dicapai, dapat digunakan untuk membayar banyak orang untuk menjadi Pasukan Kuning atau tim pembersih, penata dan pemeliharaan. Tetapi kebersihan, keindahan, kehijauan kota atau sekolah merupakan kesadaran komunal dari anggota masyarakat atau sekolah. C.2 KURIKULUM INFORMAL Berbicara kurikulum informal yang dimaksud adalah lingkungan keluarga termasuk didalamnya lingkungan masyarakat. Di dalam sebuah keluarga dalam menerapkan PLH memerlukan tauladan contoh sikap dari kedua orang tua. Misalnya menyediakan tempat sampah terpisah di rumah dan memberikan contoh dimana jenis sampah itu dibuang. Membangun kedisiplinan semacam ini akan menjadi kebiasaan anak yang dapat ia bawa kemanapun anak tersebut berada. Menyanyangi tanaman dengan merawat berbagai macam tanaman diruang – ruang kosong di rumah, menjaga kebersihan selokan atau halaman taman atau kebun disekitar rumah, mungkin dengan menyediakan waktu khusus setiap minggu atau sebulan untuk kerja bakti seluruh anggota keluarga untuk membersihkan dan merawat lingkungan sekitar rumah. Selain itu budaya hemat energy juga diterapkan sejak dini misalkan menutup kran rapat – rapat, mematikan lampu atau elektronik lainnya yang tidak terpakai, Bike to work atau menggunakan kendaraan umum/ massal, tidak membudayakan beli baju baru saat lebaran, mengajak menanam one man five tree dan lain – lain. Lingkungan masyarakat baik RT, RW, Desa dengan cara kerja bakti pada hari-hari yang disepakati. Seperti 17- an, memasuki puasa atau kegiatan untuk mencegah penyakit Demam Berdarah. Tentunya dalam kerjabakti kita juga mengajak anak-anak sebagai proses pembelajaran. D. PENUTUP Mendidikan karakter ramah lingkungan bagi anak usia sekolah dibutuhkan metode – metode pembelajaran yang melibatkan langsung peserta didik dengan kegiatan – kegiatan nyata, memberikan contoh – contoh sikap ramah lingkungan sejak dini pada keluarga. Dukungan masyarakat dan pemerintah dalam mewujudkan budaya ramah lingkungan sangat dibutuhkan. Adanya kebijakan – kebijakan yang tegas terhadap komitmen ramah lingkungan, menegakkan peraturan perundangan lingkungan dengan memberi punishmen bagi yang melanggar serta reward bagi yang memberikan support nyata. Daftar Pustaka 1. www.religionandecology.org 2. www.environment.harvard.edu/religion 3. Tucker’s Worldly Wonder: Religions Enter Their Ecological Phase (Open Court, 2003) and Tucker and Grim, Worldviews and Ecology (Orbis, 2001) 4. Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Kalimantan, Garis Besar Isi Materi (GBIM) Pendidikan Lingkungan Hidup, 2007 5. Sukro Muhab, Konsp dan Implementasi Sekolah Islam Terpadu/SIT, 2010 .

INVESTASI JARIYAH DENGAN MENDIDIK ANAK YANG SOLEH DAN BERKARAKTER MULIA

Bismillahirohman nirrohim Assalamualaikum WR. Wb. Asshaduallaillaha illallah wa asshaduannamuhammaddar rosulullah Allahumma sholiala sayyidina Muhammad, wa ala ali Muhammad Alhmdulillahirobbil alamin Ibu – ibu majelis taklim yang di kasihi Allah ! Bersyukur atas nikmat Allah yang maha Segala, atas setiap hirupan nafas yang diberikannya, setiap tarikan nafas yang kita hirup memerlukan kurang lebih 500 cc atau ½ Liter kurang dari 1 detik, jika dihitung 1 detik dalam 24 jam nafas yang kita ambil sekitar 43.200 liter atau sekitar hampir 800 tabung besar di rumahsakit jika kita mengalami gangguan kesehatan, ibu – ibu bisa kalikan sendiri berapa tahun usia kita, berapa bulan, berapa hari dengan sehari memerlukan sekitar 800 tabung sudah berapa M uang yang kita harus bayar seandainya tidak disediakan Allah SWT. Sungguhpun demikian nikmat allah atas kemampuan bernafas serta ketersediaan oksigen ini merupakan nikmat allah yang tidak dapat tergantikan oleh uang berapapun besarnya, Oksigen ini masih akan mengalir melalui peredaran kita membawa sari2 makanan yang kita makan untuk mentenagai tubuh kita, menyuplai sampai ke otak, sehingga kita dapat tumbuh dan berpikir secara lebih jernih dan mendalam. Tentunya manusia yang Iqro, yang terus membaca dan belajar ayat – ayat Allah yang diturunkan lewat Al quranul qarim atau yang bertebaran disekitar kita. Ibu – ibu majelis taklim yang di rindukan Allah ! Ada 3 perkara yang kelak di hari kemudian tidak akan terputus, yaitu: 1. Ilmu yang bermanfaat, menjadikan ilmu yang bermanfaat tidak hanya dipersepsikan sebagi guru atau pendidik, kita mengaji sama – sama mengikuti majelis taklim, menyebarkan kebaikan – kebaikan seperti ini juga termasuk mengamalkan pengetahuan kita atas ilmu yang dimiliki, mengamalkan untuk hidup rukun dalam rasa syukur penuh tenggang rasa dan kebersamaan tentunya dalam mencintai Rosul menambah syukur nikmat yang di berikannya. 2. Amal Jariyah, mewaqohkan tanah atau bangunan untuk kemashlatan umat, untuk pesantren, untuk masjid, untuk jalan raya, dsb 3. Yang terakhir, adalah perkara Anak yang sholeh dan sholehah Sebagaimana dalam ayat allah …. “… Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri….” (QS. Ar-Ra’du : 11) Masa depan keluarga, masa depan bangsa, bahkan masa depan kita sendiri kelak setelah melewati fase hidup adalah Anak… Mencetak anak yang sholeh, yang menyayangi orang tua, yang membiasakan diri mendoakan orang tua baik disaat kita hidup atau sudah tiada. Hal ini merupakan investasi jariyah kita, tidak akan terputus dari kita hidup maupun nantinya setelah masa kita hidup. Ibu – ibu majelis taklim yang di sayangi oleh Allah …. Investasi terhadap anak disini tidak dibatasi pada ditinggalinya harta benda emas dan sejumlah uang yang aman dalam rekening bank , rumah dan tanah yang luas…tetapi yang paling utama adalah pendidikan yang baik, yang telah jelas di suratkan dalam ayat: “ … Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat….” ( QS. Al-Mujadillah : 11) Bukan harta, bukan baju yang dikenakan, bukan pula mobil yang berjejer atau tanah yang ber hektar tetapi yang membuat derajat kita lebih tinggi adalah ilmu pengetahuan…, tentunya ilmu di sini adalah ilmu yang bermanfaat. Bukan Seperti kita lihat di media atau bahkan lingkungan kita sendiri, tidak sedikit professor atau doctor atau bahkan ulama yang mengamini juga untuk bertindak tidak cerdas hati seperti berbuat korupsi. Kemudian Allah mengajak kita untuk berfikir lewat ayatnya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak - anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (Q.S An- nisa : 9 ) Konsep mendidik anak sholeh berkarakter adalah yang memenuhi ; Multilingual, attitude/morality, problem solving, IT, skill komunikasi, kritis dan berpikir kreativ, interpersonal skill dan reasoning skill ….. Tentunya mendidikan karakter yang diuraikan tadi, membutuhkan biaya, sebagaimana sabda nabi : Tuntutlah ilmu sampai ke negeri cina, yang tentunya dari saudi ke Cina butuh biaya, atau orang Jawa Timur memberikan makna dengan Ungkapan Jer Basukhi Mawa Bea…menjadi Basukhi atau manusia yang baik dalam segala hal membutuhkan biaya, biaya untuk mendapatkan sekolah yang baik ….. Penerapan nilai – nilai seperti yang diuraikan tadi tentunya faktor paling utama adalah pendidikan dalam keluarga itu sendiri, tempat anak mempelajari nilai – nilai hidup sebenarnya yang utama adalah seorang ibu, bahkan seorang ibu professor kimia di Negara Israel pun rela tidak melanjutkan karier demi mendidik anaknya, kita tahu bahwa mereka bukan muslim. Tetapi bagaimanapun kondisinya sekolah bukanlah tanggungjawab utama untuk menjadikan anak sholeh berkarakter sebagai investasi jariyah, sekolah hanya mengajarkan dan mendidikan, tetapi yang paling penting adalah pendidikan yang diperoleh dalam keluarga sebagai nilai – nilai praktek dalam keseharian. Akhirnya Saya tutup Majelis yang sangat mulia ini dengan Kalimat  Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.  Jika anak dibesarkan dengan olokan, ia akan rendah diri  Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar akan belajar memaki.  Jika anak dibesarkan dengan iri hati, ia belajar kedengkian.  Jika anak dibesarkan dengan dipermalukan, ia akan merasa bersalah.  Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.  Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.  Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.  Jika anak dibesarkan dengan rasa berbagi, ia belajar kedermawanan.  Jika anak dibesarkan dengan kejujuran, dan keterbukaan, ia belajar kebenaran dan keadilan.  Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.  Jika anak dibesarkan dengan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.  Jika anak dibesarkan dengan ketentraman, ia belajar berdamai dengan pikiran. Al Haqu Minallah…Ihdinassirotol mustakim, Billahitaufiq wal hidayah … Waasss Wr.Wb

MEMBANDINGKAN KEARIFAN SUKU BADUY DALAM DENGAN KEARIFAN LOKAL SUKU DAYAK KALIMANTAN PADA ARUS MODERNISASI

MEMBANDINGKAN KEARIFAN SUKU BADUY DALAM DENGAN KEARIFAN LOKAL SUKU DAYAK KALIMANTAN PADA ARUS MODERNISASI Rofiah ( Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan Universitas Mulawarman ) PENDAHULUAN Kearifan lingkungan atau kearifan lokal (lokal wisdom) sudah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu, kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat (Wietoler, 2007), yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun, secara umum, budaya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu. Kearifan lokal sering juga dimaknai sebagai suatu pemikiran yang tidak berdasarkan pada teori-teori yang ada, yang dipahami sebagai kepercayaan dan suatu tradisi yang harus dilakukan oleh masyarakat setempat, tanpa mengkaji secara mendalam pemaknaan manfaat dari adanya kearifan lokal yang tumbuh dari masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah. Jadi merujuk pada lokalitas dan komunitas tertentu. Menurut Putu Oka Ngakan dalam Andi M. Akhmar dan Syarifudin (2007) kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif. Maka dari itu kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya berbeda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial. Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu, tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat. Sementara itu Keraf (2002) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun gaib. Selanjutnya Francis Wahono (2005) menjelaskan bahwa kearifan lokal adalah kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis yang sudah berabad-abad teruji oleh berbagai bencana dan kendala serta keteledoran manusia. Kearifan lokal tidak hanya berhenti pada etika, tetapi sampai pada norma dan tindakan dan tingkah laku, sehingga kearifan lokal dapat menjadi seperti religi yang memedomani manusia dalam bersikap dan bertindak, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun menentukan peradaban manusia yang lebih jauh. Adanya gaya hidup yang konsumtif dapat mengikis norma-norma kearifan lokal di masyarakat. Untuk menghindari hal tersebut maka norma-norma yang sudah berlaku di suatu masyarakat yang sifatnya turun menurun dan berhubungan erat dengan kelestarian lingkungannya perlu dilestarikan yaitu kearifan lokal. Untuk itu kita perlu menggali kembali kearifan lingkungan masyarakat, peran serta dari semua disiplin ilmu baik teknik, geologi, geografi, hidrologi, sosiologi dan lain sebagainya dalam mengelola kawasan secara berkelanjutan. Mengingat dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan adanya kemajuan teknologi membuat orang lupa akan pentingnya tradisi atau kebudayaan masyarakat dalam mengelola lingkungan, seringkali budaya lokal dianggap sesuatu yang sudah ketinggalan di abad sekarang ini, sehingga perencanaan pembangunan seringkali tidak melibatkan masyarakat ( top down ). Kearifan lokal Suku Baduy Dalam Menurut Gunggung Senoaji (2003 :121) Masyarakat Baduy percaya bahwa mereka adalah orang yang pertama kali diciptakan sebagai pengisi dunia dan bertempat tinggal di pusat bumi. Segala gerak laku masyarakat Baduy harus berpedoman kepada buyut yang telah ditentukan dalam bentuk pikukuh karuhun. Seseorang tidak berhak dan tidak berkuasa untuk melanggar dan mengubah tatanan kehidupan yang telah ada dan sudah berlaku turun menurun. Pikukuh itu harus ditaati oleh masyarakat Baduy dan masyarakat luar yang sedang berkunjung ke Baduy. Ketentuan-ketentuan itu diantaranya adalah : 1. Dilarang masuk hutan larangan (leuweung kolot) untuk menebang pohon, membuka ladang atau mengambil hasil hutan lainnya 2. Dilarang menebang sembarangan jenis tanaman, misalnya pohon buah-buahan, dan jenis-jenis tertentu 3. Dilarang menggunakan teknologi kimia, misalnya menggunakan pupuk, dan obat pemberantas hama penyakit dan menuba atau meracuni ikan 4. Berladang harus sesuai dengan ketentuan adat, dll Buyut dan pikukuh karuhun dilafalkan dangan bahasa sunda kolot dalam bentuk ujaran yang akan disampaikan pada saat upacara-upacara adat atau akan diceritakan oleh orang tua kepada anak-anaknya.Ujaran-ujaran itu dianggap sebagai prinsip hidup masyarakat Baduy. Orang Baduy juga berpegang teguh kepada pedoman hidupnya yang dikenal dengan dasa sila, yaitu (Djoeswisno dalam Gunggung Senoaji, 2003 : 125) 1. Moal megatkeun nyawa nu lian (tidak membunuh orang lain) 2. Moal mibanda pangaboga nu lian (tidak mengambil barang orang lain) 3. Moal linyok moal bohong (tidak ingkar dan tidak berbohong) 4. Moal mirucaan kana inuman nu matak mabok (tidak melibatkan diri pada minuman yang memabukkan 5. Moal midua ati ka nu sejen (tidak menduakan hati pada yang lain/poligami) 6. Moal barang dahar dina waktu nu ka kungkung ku peting (tidak makan pada tengah malam) 7. Moal make kekembangan jeung seuseungitan (tidak memakai bunga-bungaan dan wangi-wangian) 8. Moal ngageunah-geunah geusan sare (tidak melelapkan diri dalam tidur) 9. Moal nyukakeun atu ku igel, gamelan, kawih, atawa tembang (tidak menyenangkan hati dengan tarian, musik atau nyanyian) 10. Moal made emas atawa salaka (tidak memakai emas atau permata) Dasar inilah yang melekat pada diri orang Baduy, menyatu dalam jiwa dan menjelma dalam perbuatan, tidak pernah tergoyah dengan kemajuan zaman. Jika dilihat kehidupan masyarakat Baduy, sulit untuk dipertemukan dengan keadaan zaman sekarang. Jikapun ada sedikit penyesuaian ada pada suku Baduy Luar. Bagaimana Suku Dayak memiliki kearifan lokal terhadap Pengelolaan SDA? A. Mengelola Api Kearifan penyebab kerawanan hutan terhadap kebakaran, penyebab api liar, sumber api rutin di lahan, teknik mencegah terjadinya kebakaran, tanda kemarau dan dengan adanya sangsi jipen (denda) bagi pelanggar pembakaran. Prinsip pemadaman di masyarakat ditunjukkan adanya sistem kebersamaam menghadapi musim kemarau. Aktivitas pemadaman dilakukan dengan cara memadamkan api kecil dan pembakaran terkendali pada ladang, Umumnya masyarakat Dayak yang hidup di sekitar hutan menganggap api sebenarnya dapat dicegah karena dapat diketahui secara dini. Api liar umumnya berasal dari kelalaian sebagian kecil masyarakat saat membuka ladang dengan membakar. Kebakaran terjadi akibat kelalaian yang saat pembakaran di kondisi cuaca sangat kering dan angin kencang sehingga muncul api loncat yang dapat menjadi api liar baru di sekitar hutan. Berikut Bagaimana teknik mencdegah kebakaran pada saat membuka lahan dengan cara dibakar: = Titik api Membuka lahan dengan menggunakan titik api yang disebar melingkar, sehingga apinya tidak tersebar membakar lokasi lainnya, jadi buka dibakar diujungnya, hal inilah yang dapat membuat api merambat kemana – mana dan mengakibatkan kebakaran hutan. B. Pengaturan Peruntukan dan pemanfaatan lahan Belajar dari Dayak Ngaju Pukung Pahewan adalah kawasan tanah adat dayak ngaju yang dikelola secara turun temurun serta diwariskan kepada anak cucu sehingga kawasan tersebut dikembangkan atau dilestarikan menjadi hutan lindung yang dianggap tempat leluhur serta dikeramatkan sebagai tempat orang halus (nyaring dan jin), siapapun tidak boleh menjamah tempat ini, tanpa permisi dan seijin dengan penghuni kawasan hutan tersebut. Kawasan hutan adat dayak ngaju ini juga dijadikan sebagai tempat ritual adat secara khusus. Sahepan merupakan kawasan tanah adat dayak ngaju dikelola dan dikembangkan menjadi hutan produksi tempat masyarakat setempat berburu. Di dalam kawasan hutan tersebut banyak binatang buruan yang boleh diburu ataupun dimanfaatkan dan sumber daya alam dari kawasan tersebut seperti kayu, gemor, getah pantung, rotan, obat-obatan tradisional dan lain-lain. Kaleka adalah kawasan tanah adat yang bersejarah yang juga pernah dikelola secara kearifan lokal oleh nenek moyang pada jaman dulu dan dijadikan tempat mendokoh (tempat pemukiman kecil), tempat berladang, dan juga ada peninggalan berupa kuburan, sanding dan tanaman keras, karena terlalu lama ditinggal sehingga ditumbuhi semak belukar dan sewaktu-waktu kaleka dapat kembali dijadikan sebagai tempat berladang. Tajahan merupakan kawasan tanah adat mencakup beberapa nama yang jauh dari DAS (sungai) besar. Akan tetapi dibagian ujung anak sungai kecil wilayah tersebut banyak beje (sejenis kolam), baruh/loto (kolam alami) dan sekelilingnya ditumbuhi kayu yang besar dan tempat ikan berkembang biak. Masyarakat setempat dapat memanfaatkan kawasan tersebut pada musim kemarau dengan menggunakan alat tradisional berupa tangguk, siap(penjaring) dan lain-lain untuk menangkap ikan. Bahu adalah kawasan tanah adat dayak ngaju yang setiap tahunnya dikelola atau digarap serta digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagai sandang pangan. Sifat kawasan tersebut lebih ke kawasan perluasan lahan pertanian padi gunung, sayur mayur dan palawija. B.1 Pengaturan Peruntukan Tanah : Petak Katam adalah tanah adat dayak ngaju berwarna kuning muda yang berada dipinggir sungai, kemungkinan bisa dibangun untuk permukiman masyarakat atau bisa juga dijadikan sebagai perkebunan karet, cempedak, durian, ramunia dan lain-lain. Petak Pamatang adalah tanah adat dayak ngaju sejenis tanah mineral (padat) yang bisa digunakan untuk perladangan, tanaman rotan, karet, buah-buahan dan lain-lain. Tanah Sahep adalah tempat masyarakat adat berusaha mencari nafkah sehari-hari untuk kebutuhan rumah tangga. Tanah Sahep ini terdiri dari dua jenis, yang pertama adalah tanah gambut tipis antara 50 cm – 1,5 cm, tanah ini masih bisa dijadikan tempat pertanian padi gunung, sayur mayur, palawija dan juga bisa dijadikan tempat perkebunan karet, rotan dan lain-lain dan tanah sahep yang kedua adalah tanah gambut dalam di atas dari 2 meter -16 meter, tanah gambut dalam ini tidak bisa dimanfaatkan sebagai tempat perkebunan karet atau pertanian, kawasan ini hanya bisa dikembangkan tanaman hutan untuk industri, jelutung, rotan, gemur dan jenis-jenis kayu yamg cocok hidup dan yang dianggap bermanfaat untuk kehidupan masyarakat adat. Di daerah gambut dalam ini juga sering terendam air akan tetapi rendamannya tidak terlalu lama. Tanah Luwau adalah sejenis tanah yang bergambut dalam sering terendam lama oleh air dan bisa mencapai setengah tahun terkecuali baru terlihat tanahnya apa bila musim kemarau panjang yang mencapai 3 bulan-4 bulan lamanya. Di tanah luwau ini banyak danau-danau besar atau pun kecil dengan kedalaman 10 meter-20 meter di sinilah temat ikan-ikan besar berkembang biak dan selain itu banyak juga buaya, ular bermacam-macam jenis, kura-kura, biyuku ,bidawang, kodok besar dan lain. Tanah luwau ini juga ditumbuhi kayu yang besar dan bagian bawah ditumbuhi rerumputan atau akar-akaran juga sering terdapat pohon gemur. Wilayah tanah luwau ini tidak bisa dijadikan tempat berkebun dan berladang, hanya yang bisa untuk dijaga serta di lestarikan dan kawasan ini sebagai tempat masyarakat adat dayak ngaju berusaha mancari ikan, mencari gemur, kayu untuk bahan bangunan rumah serta obat-obatan tradisional dan sebagainya nya. Tanah luwau sangat berguna sekali karena bisa digunakan sebagai pupuk organik. Konsep tata kelola tersebut telah dijalankan selama bertahun-tahun oleh Masyarakat Adat Dayak Ngaju, hal itu telah berhasil menjaga kelestarian gambut sekaligus telah menyumbangkan perekonomian bagi warga setempat dan daerah. Masyarakat Adat Dayak Ngaju Desa Mantangai Hulu rata-rata memiliki kebun karet per kepala keluarga. Selama musim kemarau, masyarakat bisa menutupi kebutuhan hidup dari hasil penjualan getah karet. Namun ketika musim hujan tiba, getah karet mereka tidak bisa disadap. Kalaupun dipaksa, hasilnya tidak maksimal bahkan batang karet terancam mati. Untuk memenuhi kebutuhan hidup dimusim hujan, sebagian menanam padi ladang gunung jenis geragai, sambil menunggu padi dipanen, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat mencari rotan di hutan, mencari kulit gemur, serta menangkap ikan di sungai kecil/besar, danau, baruh/loto (kolam Alami) dan beje. Melihat cara bertahan hidup masyarakat yang bergantung kepada alam dan musim, bahwa Masyarakat Adat Dayak Ngaju di Desa Mantangai Hulu atau di wilayah gambut tidak bisa di pisahkan antara kehidupannya dengan lahan gambut dan hutan karena untuk mencapai kesejahteraan ekonomi maka Masyarakat Adat Dayak Ngaju mengandalkan hasil kekayaan alam dari lahan gambut dan hutan serta kebun karet dan ladang padi (budidaya pertanian). Untuk mencapai taraf sejahtera, mereka perlu porsi lebih dan leluasa dalam mengakses hutan disekitarnya. Sebab demi memenuhi kebutuhan hidup, mereka memerlukan daya jelajah luas untuk mendapat rotan, gemor, ikan dan kayu. Kemudian hal itu disebut Daya Jelajah atau sebagai wilayah kelola Masyarakat Adat Dayak Ngaju. Daya jelajah berbeda dengan lahan yang dikelola sehari-hari seperti karet dan padi. Daya jelajah diartikan oleh penduduk setempat sebagai tempat berusaha bersama. Pergantian musim merupakan siklus alam yang tak bisa disangkal. Konsekuensi dari pergantian musim itu mau tidak mau harus dihadapi oleh Masyarakat Adat Dayak Ngaju yang bermukim di wilayah Gambut seperti Desa Mantangai Hulu. Kondisi terkini, berbagai proyek yang mengatasnamakan kepentingan daerah, nasional bahkan internasional telah membatasi daya jelajah masyarakat. Padahal, luas daya jelajah tersebut sangat berpengaruh kepada mata pencaharian masyarakat, seiring dengan masih bergantungnya kehidupan masyarakat kepada keadaan musim dan kondisi hutan. Lebih jelasnya, pola mata pencaharian Masyarakat Adat Dayak Ngaju banyak tertuju ke arah lahan Gambut dan hutan sangat berbeda dengan pola mata pencaharian masyarakat yang bermukin ditanah mineral. Namun beberapa pihak, termasuk pemerintah, tidak memahami kondisi tersebut. Sehingga berbagai proyek pembangunan seperti PLG, Perkebunan Sawit, Konservasi, dan REDD didatangkan dari luar tanpa memperhatikan atau berkonsultasi dengan masyarakat setempat yang sudah hidup bertahun-tahun lamanya. Akhirnya, proyek yang tadinya bertujuan untuk mensejahterakan rakyat, akan tetapi menjadi proyek pemiskinan yang dilakukan secara terus menerus karena betul-betul tidak menyentuh kepada Masyarakat. C. Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Lokal Alam merupakan “titipan atau pinjaman”dari Tuhan (Lewu Injam Tingang) yang hanya bersifat sementara. Oleh karenanya, manusia hanya mengusai alam dengan arif dan bijaksana. Mereka tidak memiliki kekuasaan terhadap alam, sebab alam telah diciptakan dan diatur tatanannya oleh Tuhan (Ranying Mahatala Langit). Karena alam berupa “titipan atau pinjaman”, maka manusia hanya memanfaatkan alam seperlunya saja untuk kepentingan mempertahankan hidup. Hal ini tercermin dalam perilaku masyarakat Dayak di dalam menjaga agar komponen di dalam alam dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan. Hutan, misalnya, merupakan komponen penting bagi kelangsungan hidup mereka. Di dalam memanfaatkannya tidak dilakukan dengan sembarangan dan membabi buta. Kayu dianggap secara filosofis memiliki 'roh', karena daripadanya masyarakat Dayak memperoleh manfaat bagi kehidupan. Penyucian hubungan tersebut dimaknai sebagai bagian dari upaya menjaga harmonisasi hubungan manusia dengan alam yang berimplikasi kepada keseimbangan kosmis secara menyeluruh. Mereka percaya bahwa tidak semua satwa dapat dibunuh dan dijadikan makanan. Ada beberapa jenis satwa yang dilindungi, di antaranya burung tingang atau enggang dan elang, misalnya. Burung enggang merupakan simbol penguasa Alam Atas, sedangkan burung elang dianggap sebagai burung “pemberi tanda” atau “petunjuk” (dahiang) (bdk.Riwut, 2003). Perlakuan terhadap alam seperti halnya perlakuan kepada sesama manusia. Apa yang diberikan oleh alam merupakan karunia Tuhan yang harus dijaga keberlangsungannya. Oleh karena itu, perlakuan yang baik dalam mengusahakan alam bagi kepentingan hidup manusia akan memberikan dampak yang baik bagi kehidupan manusia. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dapat berjalan seiring dengan kemajuan pembangunan dengan berbasis pengetahuan lokal tentang pertanian, peternakan, dan perkebunan, serta pengelolaan hutan konservasi. Penggalakan usaha mikro, seperti pemeliharaan ikan dalam kolam yang disebut beje, pengelolaan danau adat bagi nelayan tradisional, dan lain-lain, merupakan kearifan dan pengetahuan lokal yang akan terus dikembangkan. Budidaya padi dan palawija serta sayur-mayur hutan, buah-buahan hutan, dan lain-lain, termasuk tanaman hutan bagi pengobatan dan kesehatan. Pada bidang perikanan, misalnya terdapat berbagai teknologi lokal yang ramah lingkungan, seperti alat tangkapan ikan tradisional, kegiatan manuwe (menuba) ikan dari getah pohon alami dan tidak berbahaya bagi kesehatan. Beberapa alat tangkapan tradisional lainnya, seperti jerat, dondang (sejenis tombak pelontar), rangkep (perangkap), dan lain-lain, tidak bertujuan untuk mengakibatkan terjadinya kepunahan. Semua aktivitas pengusahaan alam dan hutan didasarkan pada pemahaman pemikiran yang telah dibuktikan berabad lamanya demi kepentingan generasi setelahnya. C.1 Larangan menebang Pohon Banggeris Berbagai sumber kebutuhan sehari-hari hampir sepenuhnya diperolah dari hasil hutan, seperti sumber makanan (buah-buahan durian – Durio sp., daging buruan dari babi liar - Sus scrofa atau payau – Cervus unicolor), kebudayaan (bulu ekor Enggang – Bucheros vigil digunakan sebagai hiasan topi tetua adat dan alat tarian wanita), pengobatan tradisional (Coptosapelta flavescens sebagai anti hepatitis), bahan kontruksi (kayu ulin – Eusideroxylon zwageri, jenis-jenis meranti – Shorea spp.), bahan bakar (kayu bakar dari Vitex pinnata, Hosfieldia grandis), dan berbagai kebutuhan lainnya. Pentingnya hutan menyebabkan pelestarian hutan adalah hal yang mutlak bagi mereka dan menciptakan berbagai kearifan lokal salah satunya adalah pelarangan penebangan pohon Banggeris (Koompassia sp.) Pohon Banggeris di tengah hutan hujan tropis Kalimantan Banggeris (Koompassia sp.) yang termasuk dalam keluarga tumbuhan Fabaceae ini merupakan salah satu jenis pohon tertinggi di hutan hujan tropis (dapat mencapai tinggi lebih dari 80 m) dan menjadikan spesies ini termasuk dalam Emergent Spesies. Pohon ini memiliki morfologi batang yang indah. Banggeris memiliki kualitas kayu keras yang baik dan bernilai ekonomi yang cukup tinggi. Meskipun demikian, penebangan pohon ini sangat dilarang oleh sebagian besar masyarakat adat dayak dan dianggap tabu. Banggeris yang dapat tumbuh sangat tinggi dan batang pohonnya yang keras menjadikan pohon ini sebagai habitat yang cocok bagi sarang lebah madu yang ada di pulau Kalimantan, khususnya dari spesies Apis dorsata binghami.Lokasi sarang lebah madu yang tinggi dimaksudkan agar sarang aman dari ancaman predator seperi Beruang Madu (Helarctos malayanus). Lebah madu Apis dorsata binghami sendiri merupakan spesies lebah madu yang luas persebarannya meliputi Kalimantan (Indonesia), Serawak dan Sabah (Malaysia). Madu yang dihasilkan memiliki kualitas gizi yang sangat baik, komposisinya diantaranya berbagai jenis gula dan mineral seperti potasium, zat besi, kalsium dan magnesium. Madu oleh masyarakat adat Dayak dianggap sebagai kebutuhan yang tak tergantikan. Selain digunakan oleh mereka sendiri, madu ini juga dijual dengan harga yang menggiurkan. Tingginya nilai madu ini memicu beberapa masyarakat adat dayak mengakusisi suatu pohon Banggeris sebagai kepemilikannya. Hal ini dilakukan agar madunya tidak diambil oleh orang lain. Pengambilan madu tanpa izin atau bahkan melakukan penebangan akan dapat dikenai hukum adat yang cukup berat, dapat berupa denda atau bentuk hukuman lain tergantung dari hukum yang berlaku di tiap sukunya. Kualitas madu yang baik bagi kesehatan dan nilai jual yang sangat menggiurkan inilah yang dianggap sebagai salah satu alasan mengapa pohon Banggeris ini sangat terlarang untuk ditebang. Saking terlarangnya, perusahaan logging,mining maupun perkebunan yang ada disekitar lingkungan masyarakat dayak juga harus mengikuti aturan ini. Tantangan Kearifan Lokal di Era Global Think Globaly Act Localy, Istilah yang cukup tepat untuk bertahan dalam era yang serba materealistik. Termasuk kedua suku diatas, antara Baduy dalam dengan suku Dayak Kalimatan. Kearifan lokal dilawankan dengan Modernisasi, meskipun kearifan lokal yang sudah diturunkan berabad – abad ke anak cucu tidak dipungkiri mengalami pergeseran – pergeseran. Arus modernisasi membawa mereka lebih konsumtif dan lebih tergantung pada nilai tukar uang yang di jaman nenek moyang tidak mereka kenal. Globalisasi dan akses informasi yang tak terbatas melalui HP, internet atau saluran TV dan radio membawa kedua suku ini pada dunia yang baru. Dunia yang lebih mudah, lebih membahagiakan dengan cara – cara hedonis dan pragmatis. Kemudahan – kemudahan yang instan dalam mencapai kebahagiaan sementara. Kita akan temui di Kalimantan akan banyak terjadi gesekan – gesekan kebijakan yang tidak memperdulikan kearifan lokal. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian diatas. Kebijakan yang diambil tidak Bottom up, menyaring aspirasi bersama kearifan lokal yang sudah bertahan berabad tahun. Daya jelajah dan rotasi ladang berpindah suku dayak aksesnya terbatas dengan HTI, Tambang Batubara, Tambang minyak dan Gas Alam dan perkebunan Kelapa Sawit. Belum lagi dampak yang diakibatkan dari eksplorasi kapital diatas, misalkan kerusakan hutan, punahnya hewan yang biasa mereka buru untuk bahan makan, hilangnya tanaman obat, keringnya mata air, kebakaran hutan yang tidak terkendali, longsor, bahkan banjir tidak hanya terjadi di kota yang di muara dekat laut, wilayah hulupun banjir sudah biasa datang. Suku Baduy dalam lebih mempertahankan tradisinya, karena di Jawa wilayah sudah sangat padat, mereka lebih ke budaya bercocok tanam dan tinggal di kampong mereka, jikapun ada peraturan yang melanggar mereka cukup keluar dengan tinggal bersama suku Baduy luar. Mempertahankan tradisi meskipun komprominya dengan merasa menjadi suku Baduy luar. Ditambah dengan kepentingan Pemerintah yang menjadikan Cagar Budaya untuk suku Baduy ini menyebabkan penyokong kehidupan meluas ke wilayah pariwisata. Mereka bisa menerima tamu, membuat cindera mata tanpa menghilangkan kearifan yang sudah bertahan berabad lamanya. Tetapi Bagaimana dengan suku dayak yang sangat tergantung pada alam dan hutan? Kearifan – kearifan lokal yang mulai terkikis dengan budaya konsumtif, memperkenalkan mereka pada keserakahan akhirnya menjadi bagian konflik tersendiri, khususnya dikawasan – kawasan konservasi dan hutan lindung. Enclave atau perambahan tidak dapat dihindari di setiap kawasan konservasi. Karena kawasan – kawasan milik Negara inilah yang masih relative dapat dikendalikan dari sawit atau batubara. Tantangannya adalah bagaimana mengelola konflik ini, memperlakukan masyarakat adat atau suku dayak dengan kearifan lokal yang dimilikinya sebagai bagian dari pengambilan kebijakan. Pendampingan dan penyuluhan – penyuluhan menjadi alat komunikasi yang seharusnya efektif untuk mengurangi atau mencegah kerusakan – kerusakan kawasan konservasi. Toh kearifan lokal suku dayak sampai suku baduy, adanya kawasan konservasi serta industrialisasi pertambangan dan perkebunan akibat modernisasi semua berkepentingan untuk kesejahteraan manusia. Menjadi PR kesejahteraan ini hanya untuk generasi sekarang atau berpikir untuk anak cucu mendatang. Bukankah alam sudah mengajarkan dimana ada keselarasan keseimbangan dengan alam dan hutan aka nada keberlangsungan dan keberlanjutan. DAFTAR PUSTAKA Andi M. Akhmar dan Syarifuddin, 2007. Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan PPLH Regional Sulawesi, Maluku dan Papua, Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI dan Masagena Press, Makasar Bakti Setiawan, 2006. Pembangunan Berkelanjutan dan Kearifan Lingkungan. Dari Ide Ke Gerakan, PPLH Regional Jawa, Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI, Yogyakarta Brennan, Andrew. Lo. Yeuk-See, 2002. Environmental Ethics, The Stanford Encyclopedia of Phylosophy. Edward N Zalta (ed.), URL Francis Wahono, 2005. Pangan, Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati, Penerbit http://www.ugm.ac.id/id/post/page?id=5125 http://berita.borneoclimate.info/2013/01/17/konsep-pengelolaan-sda-masyarakat-adat-dayak-ngaju-dengan-menggunakan-kearifan-lokal/ http://jogjanews.com/kearifan-lokal-dayak-dalam-pengelolaan-sda-dan kewirausahaan-sosial2012/12/05/banggeris-bentuk-nyata-kearifan-lokal-masyarakat-dayak-dalam-pelestarian-hutan/#sthash.Wpvv8OIr.dpuf http://hulumahakam.wordpress.com/2012/12/05/banggeris-bentuk-nyata-kearifan-lokal-masyarakat-dayak-dalam-pelestarian-hutan/