Like this ?

Sabtu, 26 Juni 2010


Pendidikan gratis Vs. Listrik Gratis
Kebijakan populis yang diusulkan Bapak Dahlan Iskhak  nampaknya menyentuh realitas masyarakat kita. Bagaimana tidak, masyarakat miskin sejumlah 20 juta dengan pemakaian  listrik 450 Watt akan memperoleh subsidi 100 %. Artinya masyarakat gratis menggunakan listrik 450 Watt. Pada kenyataannya penulis pernah tinggal bersama beberapa orang di rumah kontrakan dengan peralatan listrik seperti 2 set komputer, setrika, beberapa lampu, TV, Pompa air dengan daya listrik 450 watt. Kemudian di tempat penulis tinggal sekarang beberapa tetangga dengan daya 450 watt bisa dipake untuk TV, Kulkas, Rice Cooker, setrika, dan beberapa lampu. Beberapa kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa  daya 450 watt tidak selalu menyasar kepada orang miskin. Ekonomi menengah, kenyataannya dapat menikmati maksimal daya listrik ini dengan  harga subsidi.
Belajar dari Kihajar Dewantara bahwa Jer Basukhi Mawa Bea, artinya jika mau kehidupan yang lebih baik harus berkorban  atau memerlukan biaya. Nabi SAW juga memberikan analoginya : Tuntutlah ilmu jauh sampai kenegeri China, artinya untuk sampai ke negeri China membutuhkan Unta atau kendaraan serta bekal yang cukup. Ketika listrik untuk orang miskin digratiskan artinya rakyat tidak perlu membayar untuk memanfaatkan energi listrik perlu dilakukan survey rakyat yang mana yang benar – benar membutuhkan listrik gratis karena pada kenyataannya listrik daya 450 watt tidak hanya milik orang yang benar – benar miskin. Barangkali bukan gratis bahasanya tetapi hitungan yang terjangkau untuk rakyat.
Pencurian listrik dan tunggakan pembayaran menjadi penyebab utama meruginya PLN tidak bisa dibiarkan begitu saja. Harus diseleseikan sebelum rakyat berpesta menikmati listrik gratis. Bagaimana tidak listrik yang bayar dan bersubsidi saja banyak yang illegal apalagi yang gratisan. Belum lagi melihat masa depan energi bumi kita. Pemerintah di satu sisi menggalakkan gerakan hemat energi, mencari alternatif energi terbarukan, energi hijau ramah lingkungan yang risetnya saja bisa banyak menelan anggaran. Apa yang menjadi indikator hemat energi kalau sesuatu yang harus dihemat itu untuk sebagian orang digratiskan.
Rakyat akan menikmati bentuk subsidi lain berupa sekolah gratis, tapi seperti yang fenomena yang terjadi sekarang sekolah untuk negeri “gratis” dibarengi dengan macam- macam pembayaran: buku, fotocopy, raport, daftar ulang, seragam, dll. Bahkan sekarang  yang terjadi di daerah, adanya standarisasi RSBI (Rintisan Sekolah berstandar Internasional)  menjadi SBI memberikan peluang seluasnya atas kontribusi masyarakat. Sehingga muncul istilah “Sekolah Negeri favorit  bayarnya semahal swasta elit” kalo sudah seperti ini dimana akses orang miskin mendapatkan sekolah layak dan bagus terutama untuk anak – anak miskin yang memiliki kemampuan kecerdasan.
Untuk menjadi sekolah RSBI dan SBI salah satu yang menjadi indikator ialah adanya fasilitas sekolah yang memadai seperti Laboratorium, komputer, LCD, bahkan sampai AC demi kenyamanan standarnya Internasional. Terutama untuk kondisi listrik didaerah  yang selalu “byar pet” indikator tersebut akan menjadi kendala utama. Standarisasi sekolah dampak globalisasi inipun perlu dipertanyakan apakah pelaksanaannya memang benar sesuai dengan tujuan dasar pendidikan dan Undang – Undang Dasar 1945 yang menjadi sumber perundangan negara. Atau memang semakin menjauhkan dari budaya dan karakteristik bangsa. Listrik gratis untuk pendidikan gratis paling tidak ada kebijakan dan keutamaan kemudahan akses listrik untuk institusi pendidikan baik akses daya maupun harga.
Bontang, 25 Juni 2010
Penulis sekarang aktif sebagai pendidik



Rabu, 24 Maret 2010

Kenapa Pendidikan Tinggi Perlu Pengakuan Jaminan Mutu ? Refleksi dari seorang mahasiswa UGM.

Visi 2020 UGM menjadi universitas penelitian bertaraf internasional yang berorientasi kepada kepentingan rakyat berdasarkan Pancasila.
Akhir-akhir ini sering terdengar berita bahwa pendidikan Indonesia secara umum adalah yang terburuk di Asia Tenggara. Khususnya, dalam dunia pendidikan tinggi, hasil survei majalah Asiaweek yang memperlihatkan bahwa universitas-universitas terbaik kita itu ternyata tidak mampu mencapai peringkat 60 terbaik di Asia. Indikasi dari ketertinggalan mutu pendidikan tinggi kita diperlihatkan antara lain pada kenyataan tingginya angka pengangguran lulusan perguruan tinggi dalam negeri. Minimnya tenaga sarjana lulusan dalam negeri yang menduduki jabatan manager dan konsultan pada perusahaan-perusahaan swasta di Indonesia.
Banyak orang tua yang mengirimkan anaknya untuk belajar ke universitas luar negeri. Dan minimnya karya-karya ilmiah yang bertaraf internasional yang ditulis oleh staf pengajar perguruan tinggi Indonesia.
Apakah mungkin peningkatan mutu dapat dicapai sambil meratakan kesempatan belajar di perguruan tinggi? Ini adalah satu dilema khususnya bagi perguruan tinggi BHMN: UI, ITB, IPB, dan UGM. Peningkatan mutu pendidikan tinggi memerlukan biaya ekstra. Untuk meningkatkan mutu akademiknya, sebuah perguruan tinggi perlu membangun badan-badan baru dalam lingkungan manajemennya, misalnya Badan Penjaminan Mutu Akademik, Senat Akademik, Badan Audit Keuangan, Tim Monitoring dan Evaluasi, Panitia Audit Akademik, dst. Semua badan ini memerlukan personil baru, kegiatan baru, fasilitas baru.
Ini artinya biaya ekstra yang tidak ada selama ini. Semua ini belum termasuk kegiatan penyusunan kebijakan, norma, peraturan, petunjuk baru yang akan dilaksanakan oleh unit-unit pelaksana akademik seperti fakultas, departemen, dan program studi. Pokoknya, peningkatan mutu akademik harus dimulai dengan program institution building dan corporate culture building, yang memerlukan biaya ekstra. Semua kegiatan di atas kini sedang dijalankan oleh empat universitas BHMN.
Dari mana semua biaya ini akan dicari oleh perguruan tinggi? Sebagian terbesar tentu dari mahasiswa. Dukungan dana dari pemerintah sudah dipangkas. Karena itu sebagai konsekwensinya perguruan tinggi yang bermutu perlu menaikkan uang kuliahnya. Sementara itu kebijakan menaikkan uang kuliah adalah sebuah kebijakan yang tidak populer. Setiap kali uang kuliah dinaikkan, khususnya di perguruan tinggi negeri, mahasiswa langsung bereaksi keras. Mereka berpikir kritis, meskipun lebih dikuasai oleh pertimbangan emosional.
Kompetensi lulusan merupakan kombinasi pengetahuan, keterampailan, kemampuan, dan sikap lulusan. Berbagai aspek yang dipandang akan berguna bagi mahasiswa untuk melaksanakan tugas dalam masyarakat itu diperolehnya selama kuliah. Jaminan mutu mengupayakan agar lulusan UGM mampu berkomunikasi, belajar mandiri, menguasai manajemen dan bisa bekerja dalam tim atau organisasi. Juga berfikir tajam dan dapat memanfaatkan teknologi informasi untuk memecahkan persoalan di hadapannya, persoalan moral dan wawasan kebangsaan tidak luput dari perhatian. Tujuannya agar lulusan UGM memahami dan menghargai perbedaan budaya, nilai, pandangan, agama, dan kepercayaan. Juga memiliki jiwa kewirausahaan atau entrepreneurship.
Evaluasi merupakan salahsatu komponen utama dalam sistem penjaminan mutu. Komponen itu berfungsi untuk menjamin pelaksanaan kegiatan pembelajaran telah sejalan dengan tujuan pendidikan. Audit diperlukan dalam konsep penjaminan mutu perguruan tinggi, untuk memperoleh obyektifitas tinggi terhadap temuan-temuan yang perlu diperbaiki melalui evaluasi diri. Dengan sistem tersebut, obyektivitas monitoring dan evaluasi yang bersifat internal sekalipun bakal tetap terjaga. Setiap 5 tahun sekali, program studi atau fakultas dapat mengundang evaluator eksternal. Baik berupa badan akreditasi maupun penguji eksternal. Tujuannya untuk mendapatkan pengakuan eksternal tentang terjaminnya mutu penyelenggaraan fakultas atau program studi di UGM.
Landasan Inovasi, strategi dan jabaran dalam kegiatan implementasinya dijelaskan Pak Djarwadi sebagai berikut: (i) Inovasi program antara lain: ‘to bring local culture to enhance global vision’, RAISE-LEAP, Critical Mass, Leadership, Transfer of Values, Participation, Local Culture, Global Vision, Creativity and Innovation, Culture and System Development, Entrepreneurship. (ii) Inovasi dalam strategi diantaranya: membentuk ‘critical mass’ yang mengarah pada “culture and system development” , pengembangan tradisi inovasi dan learning organization yang memperhatikan “culture and political climate”, dan standar komptensi lulusan S-1 yaitu knowledge, skill, and attitudes sesuai kebutuhan masyarakat dengan nilai tambah berupa jiwa dan kemampuan kepemimpinan, disertai transfer nilai-nilai IPTEKS, kemanusiaan dan kebangsaan.

Inovasi Kegiatannya meliputi: (i) SDM: Success Skill, kegiatan ini membekali mahasiswa dengan hal-hal untuk membentuk karakter lulusan yang berjiwa kepemimpinan, bermoral, dan berintegritas tinggi, melalui penumbuhkembangan 3 pilar ketrampilan: learning, thinking dan living. Semua itu didahului dengan studi nilai yang perlu ditransfer, serta pelatihan experiential learning bagi dosen selaku fasilitator pembelajaran. (ii). Sistem: Manajemen Mutu Pembelajaran, yaitu kegiatan mempersiapkan sistem yang digunakan sebagai wadah dari berbagai peningkatan SDM, yang meliputi sistem penjaminan mutu dan sistem informasi. (iii). Enhancement: Pengembangan Inovasi, merupakan aktivitas menumbuhkan budaya kreatif agar lebih relevan, produktif dan efisien dalam berkarya, dengan sasaran dosen, karyawan dan mahasiswa. Hal ini diharapkan mendorong terjadinya trickle down effect ke seluruh populasi dengan kegiatan kompetisi serta diseminasi inovasi. (iv) Penanganan khusus: Merupakan pemberdayaan Mahasiswa Berprestasi, merupakan proses pembibitan regenerasi pemimpin yang diterapkan pada mahasiswa berprestasi, melalui kegiatan Grup diskusi, ekshibisi, workshop, Pelatihan khusus manajemen kepemimpinan, Leadership Camp dan Kuliah Kerja Nyata Tematik.

Jika kita tarik pada konsep dasar pendidikan bahwa pendidikan sendiri adalah proses { sadar } Pengubahan pikiran, sikap, dan perilaku seseorang atau kelompok menjadi lebih manusiawi melalui pengajaran dan latihan. Jika hal ini dibenturkan dengan kenyataan diatas, akan sangat bertentangan karena jaminan mutu disini diartikan adalah sebuah liberalisasi { pendidikan sebagai ajang kompetisi dalam masyarakat=pasar, pendidikan yang dilembagakan dilakukan seumur hidup dengan konsep androgogy, training - training } sehingga seterusnya akan terjadi pelanggengan status quo, yang kaya tetap memperkerjakan yang miskin sebagai buruh atau tani dan yang miskinpun tidak mungkin dapat mengakses pendidikan karena parameter ekonomi tidak mampu mereka tembus.
Begini saja, ambil contoh sebuah realitas sekarang, seseorang jika ingin dapat PT/ PTN terbaik dapat akses dari SMU / SMUN terbaik, SMU terbaik dapat diakses oleh SMP terbaik, bahkan SD terbaik atau TK terbaik, sedangkan kita tahu TK pun bersaing dan bayarnya bisa sampai ratusan ribu rupiah. Bagimana mungkin orang miskin atu pemerataan seluruh daerah untuk akses pendidikan dapat dipenuhi.
Jika jaminan mutu akan memberikan jaminan kepada mahasiswa untuk mempertinggi kecerdasan intelektual, kreativitas maka kurikulum mestinya bersifat eksperimental, seorang mahasiswa dengan basis keilmuan masing – masing akan dibenturkan dengan realitas, maka sistem pengajarannyapun harus di rubah orientasi. Bukan lagi central dosen tetapi central mahasiswa dengan berbagai metode dan inovatif serta sarana yang mendukung, misal tempat santai untuk berdiskusi, memperbanyak kajian – kajian yang temanya dari realitas. Konsep – konsep klasikal, training – training tertentu bukanlah sebuah sistem yang dengan mudah dapat memproduksi SDM menjadi jaminan mutu, mahasiswa memiliki waktu 24 jam, jika kita lihat sejarah pendidikan kita pada waktu dulu, pesantren adalah pendidikan nonformal yang menjadi ancaman bagi Belanda waktu itu, karena 24 jam waktu atau sepanjang waktu adalah iklim akademisi. Bagaimana dengan sistem yang ada sekarang, seharusnya dosen memotivasi mahasiswa sebagai orang yang tahu dan dewasa { pedagogy }, menumbuhkan iklim mahasiswa sentris, sistem SKS berikut kuliah dengan tugas atau praktikum cukup seimbang, tidak memberati mahasiswa. bagaimana motivasi atau keinginan belajar ini dapat nyaman sehingga dalam ujian yang terjadi adalah sistem kebut semalam.
Kesimpulan:
Jaminan mutu bukanlah parameter kelayakan produksi sumber daya manusia, tetapi lebih pada aspek humanis ideologis yang mengacu pada kesadaran untuk mau dan mampu berkreativitas, Paradigma ‘think globally act locally’ yang selama ini berlaku di organisasi, yang coba dikembangkan UGM dengan memberikan nilai tambah menjadi ‘to bring local culture for enhancing global vision’. Jaminan mutu bisa mengacu pada ruang ini, tidak terkesan pemenuhan kebutuhan pasar dalam liberalisasi tapi sebuah gagasan besar yang mampu diterapkan dalam kurikulum eksperimental, silabus, materi,dosen, metode, sarana, suasana saat pembelajaran bertolak dari realitas yang akan memproduksi manusia yang bebas dari ketermarjinalannya.

Menyoal Batas Wilayah Kepulauan Indonesia “Refleksi Masyarakat Kita untuk Ambalat”

Semenjak 17 Agustus 1945, Indonesia Oleh Soekarno menyatakan diri untuk menjadi negara berdaulat, Negara yang bebas menentukan nasibnya sendiri, Negara yang bebas mengatur masyarakatnya sendiri tanpa campur tangan asing manapun, karena kedaulatan Indonesia sudah diakui Internasional berikut dengan batas – batas wilayahnya baik darat maupun laut.

Kita tahu bahwa Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah (PR) menyoal garis perbatasan, khususnya perbatasan laut, mengingat sedikitnya masih terdapat 12 pulau yang perlu mendapat perhatian dan menjadi titik dasar penarikan garis perbatasan teritorial "Misalnya Pulau Batek yang terletak di perbatasan Indonesia-Timor Timur. Hingga kini masih belum ada pembicaraan di antara kedua negara mengenai bagaimana kesepakatan yang diambil untuk mengelola wilayah tersebut, seperti Blok Ambalat yang kini menjadi wilayah sengketa RI-Malaysia, kawasan itu juga kaya akan kandungan minyak

Sumber di Departemen Luar Negeri RI menyatakan, 12 pulau yang masih rawan adalah Pulau Rondo (NAD) berbatasan dengan India, Pulau Berhala (Sumut) berbatasan dengan Malaysia, Pulau Sebatik (Kaltim) berbatasan dengan Malaysia, Pulau Nipa (Riau) berbatasan dengan Singapura, Pulau Sekatung (Riau) berbatasan dengan Vietnam. Pulau Miangas dan Pulau Marore (Sulut) berbatasan dengan Filipina, Pulau Fani, Pulau Fanildo, Pulau Bras (Papua) berbatasan dengan Palau, Pulau Asutubun dan Pulau Wetar (Maluku Tenggara) berbatasan dengan Timor Timur dan Pulau Batek (NTT) berbatasan dengan Timor Timur. Luas pulau-pulau itu berkisar antara 0,02-200 Km2 dan hanya 50 persen di antaranya yang berpenghuni.
Pada kasus Penempatan patok-patok batas antara Negara RI dan Malaysia sebagian besar berada di daerah yang sulit untuk dijangkau, sehingga untuk mencapai kedudukan patok-patok tersebut dibutuhkan alat transportasi khusus, misalnya helikopter. Dengan demikian kecil sekali kemungkinannya patok-patok tersebut dipindahkan. Apalagi jumlah patok yang dipasang di daerah perbatasan sangat banyak dan cukup rapat, dalam 1 Km terdapat kurang lebih 50 patok. Siaran Berita TNI Angkatan Darat yang dikirim ke Pelita, Jum'at (18/3).
Disamping itu, kedua negara memiliki peta (field plan/peta kerja) yang telah disetujui kedua belah pihak yang berisikan koordinat patok-patok perbatasan tersebut, sehingga apabila patok-patok tersebut berpindah tempat atau dipindahkan dengan sengaja maka patok tersebut dapat dikembalikan ke tempatnya semula (direkonstruksi kembali).
Penjelasan tentang garis batas antara kedua negara yakni Dasar Hukum. Pedoman dalam menentukan Batas Darat NKRI dengan Kerajaan Malaysia adalah The Boundary Convention, ditandatangani di London antara Pemerintah Belanda dengan Inggris tanggal 20 Juni 1891. The Boundary Agreement, ditandatangani di London antara Pemerintah Belanda dengan Inggris tanggal 28 September 1915. The Boundary Convention, ditandatangani di Den Haag antara Pemerintah Belanda dan Inggris tanggal 26 Maret 1928. MoU yang ditandatangani pada tanggal 26 November 1973 antara Indonesia dan Malaysia.
Parameter Penetapan Batas. Mengacu pada dasar hukum tersebut ditetapkan bahwa parameter penetapan batas antara RI-Malaysia dibatasi dua hal, yaitu penetapan batas secara alami dan batas artifisial atau batas astronomis yang ditetapkan dengan garis lurus/straight line dengan garis lintang.
a. Batas alami yaitu, yang pertama batas yang terbentuk oleh garis pemisah air (watershed) yang merupakan rangkaian punggung gunung yang tidak terpotong oleh adanya aliran sungai dan kedua merupakan aliran sungai (middle line atau thalweg) yang merupakan batas antarnegara.
b. Sedangkan garis batas astronomis, yaitu ditetapkan dengan menentukan garis 4 derajat 10" LU yaitu Pulau Sebatik (karena Pulau Sebatik terbelah dua), yaitu bagian selatan 4 derajat 10" LU adalah milik RI, sedangkan di utaranya adalah milik Malaysia.
Adapun penyebab terjadinya permasalahan perbatasan yang timbul antara Negara Republik Indonesia dengan Malaysia adalah:
 Kurangnya sosialisasi tentang tugu-tugu batas di garis batas kepada masyarakat wilayah perbatasan.
 Permukiman penduduk di daerah perbatasan pada umumnya jauh dari garis batas, sehingga sering salah penafsiran tentang batas yang sesungguhnya (exact location) oleh penduduk di wilayah perbatasan.
 Sebagian besar dari garis batas merupakan tugu-tugu yang terletak di watershed (rangkaian/punggung pegunungan), sehingga sulit dijangkau dan sekaligus sulit dikenali oleh penduduk setempat.
 Karena kurun waktu yang demikian lama, tugu-tugu batas banyak yang hilang, rusak (miring, roboh dan tidak sempurna bentuknya) karena kegiatan manusia dan alam.
Adanya tugu-tugu lain yang bukan merupakan tugu batas di dekat garis batas, misalnya tugu perkebunan, tugu BPN baik RI maupun Malaysia. Hal tersebut menyebabkan kerancuan tentang keberadaan garis batas.
Akar permasalahan dari kasus-kasus perbatasan adalah kepentingan terhadap sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati yang terbentang di wilayah itu. Karena di laut, penanganannya pun akan menjadi lebih sulit dan mahal ketimbang di darat.
untuk menangani batas laut upaya harus diarahkan pada peningkatan pemberdayaan 92 pulau kecil terluar karena pada pulau-pulau itulah negara meletakkan titik dasar yang dilegalkan melalui Peraturan Pemerintah No 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografi Titik-titik Pangkal Kepulauan Indonesia, namun PP itu harus diubah sebab masih memuat Pulau Sipadan dan Ligitan.
Hal itu berarti, pulau-pulau tersebut menjadi batas penentu kepastian tiga jenis batas di laut, yaitu batas teritorial laut (berhubungan dengan kepastian garis batas di laut), batas landas kontinen (berhubungan dengan sumber daya alam nonhayati di dasar laut), dan Zona Ekonomi Eksklusif (berhubungan dengan sumber daya perikanan).
Pemerintah Indonesia, kata AM Fatwa, anggota DPR yang juga Wakil Ketua MPR RI, menekankan agar belajar dari pengalaman sengketa perbatasan itu. "Pemerintah agar lebih memperhatikan pulau-pulau atau wilayah wilayah perbatasan yang rawan konflik teritorial," katanya.
Lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan, lanjutnya, merupakan pelajaran berharga bagi Indonesia akibat dari tidak adanya kepedulian pemerintah di dalam menangani pulau tersebut, mengingat bila acuan awalnya pada perjanjian tanggal 20 Juni 1891 antara Belanda-Inggris yang membelah Pulau Sebatik, Indonesia mempunyai hak atas kedua pulau itu.
Indonesia memang harus melepas Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional pada 17 Desember 2002, bukan atas dasar hukum ataupun sejarah yang kurang kuat dan mendukung, melainkan alasan politik karena Indonesia dianggap tidak menunjukkan keinginan untuk menguasai kedua pulau itu dengan bukti tidak ada penguasaan secara efektif (effectivites/effective occupation).
Alex SW Retraubun menyatakan salah satu upaya yang telah diusulkan departemennya adalah mengusulkan penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) tentang pengelolaan ke-92 pulau kecil terluar Indonesia. Rancangan Keppres itu telah diajukan Departemen Kelautan dan Perikanan sejak pemerintahan Megawati, saat kasus Sipadan dan Ligitan menghangat. Namun hingga pemerintahan yang sekarangpun Keppres itu belum diterbitkan.
Ditandaskan Alex, Keppres itu merupakan landasan sekaligus aksi nasional pengembangan pulau kecil terluar. Harus disadari, katanya, masalah pulau kecil terluar memiliki spektrum luas tidak hanya sebatas aspek ekonomis, tapi yang terpenting adalah aspek politis yang terkait dengan batas wilayah dan keutuhan negara kesatuan RI.
Artinya, penanganannya harus lintas departemen. Hal inilah yang menjadi urgensi perlunya kehadiran keppres itu. Tujuannya untuk mengikat komitmen pemerintah dalam membangun kawasan melalui perencanaan, pengendalian dan pemanfaatan secara terpadu.

Brutal : “ Pendidikan Oh Pendidikan !!!! “

Sudah saatnya kita membalik opini kemasyarakat, bahwa tidak benar orang miskin dilarang sekolah, takut bersekolah hanya karena pendidikan mahal.Orang pinter bisa masuk UGM, tidak cukup hanya modal kaya, pinter tapi miskinpun juga bisa menikmati pendidikan tinggi di PT atau PTN. Kita masyarakat harus memiliki keberanian mental itu dulu, jangan takut dipermainkan opini kemlaratan kita untuk mengolah sumber daya manusia di negeri ini. Negeri ini lagi sakit, korupsi tidak satu – satunya penyebab komit pemerintah terhadap pendidikan yang terabaikan, neokapitalis sudah sistemik menggerogoti sumber daya manusia Indonesia. Kita seharusnya menyadari hal ini, semua menjadi gila, advokasipun digunakan lahan untuk mencari makan, ya mencari kehidupan dengan suara- suara pembelaan kaum mustadafin. dan proses transformasinya terkadang tidak mendidik. Lebih cenderung mengkerutkan keberanian masyarakat untuk memperjuangkan haknya dalam berpendidikan.
Coba bayangkan jika rakyat kita yang ngakunya miskin ini berani bertarung untuk tetap melanjutkan studinya, Coba bayangkan jika UGM atau PTN ini yang mendaftar atau yang diterima ternyata sedikit jumlah mereka yang kaya, banyakan menengah atau menengah kebawah. Pasti ceritanya menjadi lain, setelah beberapa kali saya amati ternyata jumlah mahasiswa yang masuk fak – fak atau PT cenderung menurun. Alasan utama adalah uang. Ini sangat ironis, karena saat itu sudah bukti bahwa kita mengakui kalo kita dijajah, kita lemah, bahkan untuk berkehidupan dibangsa sendiri. Jadi akhirnya yang tidak pernah kekurangan saja yang dapat sekolah, bagaimana kemudian hari mereka dapat berbagi buat yang lain, lha wong merasakan kurang saja tidak pernah. Dalam hal ini saya ingin menyampaikan bahwa Orang miskin harus sekolah yang penting berani, dicoba dulu sebanyak – banyaknya kesempatan. Sejelek – jeleknya rakyat yang miskin masih juga dinegara sendiri, institusi sendiri. Kesempatan ini tidak terjadi diluar negeri yang sekarang harus mengalami debortase besar – besaran, karena mungkin dinegara mereka { baca; Malaysia }masih kekurangan rejeki dan kebahagiaan sehingga untuk berbagipun harus memukul, menyakiti dulu.
Kembali lagi kemasalah Pendidikan tinggi di Indonesia, jika jalur advokasi berdasarkan UUD 1945 bahwa pendidikan adalah tanggungjawab negara. Hal ini coba diterjemahkan lagi dengan akan mengusahakan ketingkat 20 % anggaran belanja, ketika kita cermati disini tidak ada kata – kata harus mencapai 20 %, sedangkan pergerakan kesana akan sangat berbentur dengan Anggaran belanja rutin, misalnya biaya pegawai, biaya tentara, pegawai – pegawai lain, sedangkan dari sekian persen anggaran jika anggaran pendidikan ini mengacu kesana pasti akan mengurangi anggaran – anggaran rutin tersebut, dan jika ini terjadi yang tahu birokrasi didalam akan semakin teriak – teriak, belum juga dikurangi sudah banyak yang korup, apalagi hal ini terjadi. Pasti akan semakin banyak mustadafin – mustadafin yang dikorbankan. Sedangkan maksud dari 20% ini hanya untuk pendidikan dasar dan menengah. Dan jika ini terjadi {20% anggaran} pasti sekolah dasar dan menengah ini gratis sehingga orang tua bisa menyimpan uang untuk masuk PT, tidak perlu lagi menggantungkan lagi dengan kontrak – kontrak kapital, akan memiliki tumpuan sendiri idealisme sendiri, dan tentunya menentukan nasibnya sendiri { merdeka }.
Mengerucut pada uji coba BHMN di UGM, sekarang informasi mengenai akuntanbilitas keuangan dapat diakses secara online oleh siapapun di PR II, berkembang isu, atau lebih tepatnya belum diketok palu SK-nya, bahwa uang sumbangan SPMA yang kenyataannya memberatkan ini digunakan untuk menggaji rektor 25 Jt, dekanat 15 Jt perbulan, serta entah berapa gaji MWA. jika kita cermati hal ini, sangat wajar sekali menurut aturan main jika institusi pendidikan ini sudah di BHMN, karena akan sama dengan BUMN- BUMN yang lain dan disini ada standar baku gaji setingkat esselon, tentunya dari menteri terkait. Terus mau gimana??? beberapa waktu lalu saya mendapat ide segar dan cukup menggerakkan. Pertanyaannya kemudian apakah kita hanya sampai pada protes-protes gaji rektor atau dekan dan MWA ini, saya kira sekarang sangat jarang ditemui dosen atau birokrat kampus yang menolak uang, meskipun masih banyak kemiskinan sistemik terjadi dinegara ini. Sehingga kemudian muncul opini bahkan sudah dilakukan bahwa dosen yang pinter ya harus pinter pula cari uang, serta tidak lupa kebertanggungjawabannya sebagai pendidik memberikan ruang – ruang pada mahasiswanya untuk berkreatif dan enterpeneur melakukan proyek – proyek penelitian sehingga mampu membiayai kuliahnya, opini ini berkembang sampai akhirnya muncul bahwa dosen yang nggak kreatif dalam hal ini mampu mengcreate tanggungjawabnya pada mahasiswa – mahasiswa yang tidak mampu membiayai kuliahnya akan segera dinonaktifkan. Jadi keadaan disini akan memaksa kita, dalam hal ini dosen, mahasiswa, masyarakat, swasta, bisa jadi negara untuk lebih konkrit mengatasi permasalahan pendidikan tinggi, tapi sejauh mana efektivitas menyentuhnya perlu kita evaluasi. Jangan – jangan konsep berbagi disini sama juga dengan ekonomi syariah yang digembar- gemborkan, tidak ada bunga tetapi ganti nama bagi hasil, akan sama saja menguntungkan satu pihak, menindas pihak yang lain. Kesadaran kolektif kebertanggungjawaban pendidik disini mungkin harus terus digali, sebuah langkah yang sangat reformis untuk berdiri dikaki sendiri.
Tapi meskipun hal itu terjadi, Pemerintah tidak boleh manja, kita tetap harus tetap memperbaiki kebobrokan sistemik kita, siapa lagi kalau nggak suara rakyat. Jadi UU yang mengatur hal ini sebagai peletak dasar perlu kita kaji ulang, kita harus mampu menafsirkan ketidaksesuain – ketidaksesuaian aturan main dilapangan. Disesuaikan lagi dengan teori, sehingga mampu membuat naskah akademik UU yang sudah diturunkan atau membuat UU lain yang mengatur tentang Perguruan Tinggi. Membangun opini publik, bahwa ada kesepahaman bersama, beberapa langkah untuk satu tujuan, seperti opini kekerasan rumahtangga yang sudah lama terjadi, tetapi baru kali ini ada UU RT yang memberikan perlindungan didalamnya.
Mungkin apa yang terjadi dinegara sekuler bahkan atheis perlu kita cermati. Disana agama tidak begitu mengatur tata kehidupan bernegara. Tetapi yang namanya mencuri {=korupsi} jelas hukumannya, Agama tidak dijadikan alat politik tapi mampu memasuki ruang – ruang ke – Rohmatanlilalaminnya. 90% mayoritas muslim di Indonesia sekarang, mungkin lebih baiknya tidak berkonflik masalah simbol dan kekuasaan. Serta tidak coba - coba mempermainkan nasib rakyat, jika tidak sanggup menghadapi status quo, bisa jadi perjuangan ekstraparlementer akan lebih banyak didengar, akan lebih mencerdaskan kepentingan politik masyarakat sehingga pada akhirnya nanti, rakyat semakin tahu kalo kepentingan atas hak – haknya belum sepenuhnya diakomodir oleh wakil-wakilnya yang mereka pilih.
Terakhir, saya mencoba mengkritik gerakan mahasiswa yang sudah lama mati suri. Film Nasional sudah bangkit, meskipun akan sangat banyak parameter mengenai kualitas kebangkitannya. Tetapi setidaknya sudah terlihat bangkit. Ini juga saya atas dasar organisasi saya dibesarkan { autokrtik }, bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan ansich, Agen Of Change yang tidak pernah mapan dalam kematiannya { bisa jadi}, Krisis multidimensi, kebebasan media tidak membuat kita lelah dan terjebak dalam pragmatisme oportunis, sudah saatnya kita bersama, jangan seperti parpol yang memperalat agama, kita adalah gerakan netral dengan satu kepentingan, Mungkin perlu diulangi atau dirumuskan bersama jenis siapa-siapa saja mustadafin yang dibela atau lebih mengkonkritkan siapa – siapa musuh penjelmaan kapitalisme yang kita lawan dan jelas menyusup sistemik pada dimensi kehidupan kita. Raksasa itu kita jinakkan dari berbagai sektor melalui ruang – ruang perkaderan dan perjuangan gerakan mahasiswa.

Yogyakarta,15 Desember 2004

Sabtu, 20 Maret 2010

Meneropong Setting HMI-MPO Dalam Gerakan Sosial Berbasis Keilmuan ( GSBK ) Sebuah refleksi atas sejarah

Seperti yang kita tahu fenomena yang terjadi tentang kasus yang sangat menghentakkan . Seperti kasus hukum yang melibatkan persaksian ahli hukum tertentu pada kasus Bulog Gate Akbar Tandjung yang lampau. Disini seorang ahli hukum tertentu memberikan opininya yang membela yang sudah jelas-jelas salah. Bagaimana pula dengan lembaga ilmiah semacam Freedom Institute dan LPEM UI seolah-olah mewakili pemerintah untuk beradu argumen dengan rakyat yang mereka anggap tolol mengenai kenaikan BBM. Tampak sekali bahwa argumen yang mereka sampaikan tidak meyakinkan. Yang ditonjolkan hanya mantel kebesaran ilmiah untuk menyilaukan pandangan mata rakyat yang menderita. Apalagi ketika terungkap betapa palsunya argumen yang disampaikan di saat berhadap-hadapan dengan INDEF yang kebetulan mengambil metode yang sama. tentang kasus Buyat juga. Dengan pola yang sama, lembaga ilmiah tertentu mencoba menghapus jejak kesalahan fatal yang dilakukan oleh perusahaan Newmont yang telah memakan korban itu (lihat Rahman Dako, Ilmuwan Dukung Newmont: Langkah Bodoh? Kompas, 17 Mei 2005). Yang di atas itu baru secuil fakta dari sekian ribu fakta yang belum terungkap.
HMI MPO telah mewujud menjadi salah satu organisasi kaum terpelajar yang tetap bertahan secara swadaya dan mandiri sejak kelahirannya di tahun 1986 hingga hari ini. Kemandirian dan daya tahannya yang cukup kuat itu telah menjadikan dirinya sebagai salah satu organisasi kaum intelektual yang eksis.
Setting Sejarah Kemunculan HMI MPO
Pada mulanya HMI MPO hanyalah sebuah respon orang-orang HMI yang tidak mau tunduk kepada rezim Orde Baru yang hendak memaksakan kehendak politiknya. Politik rezim Orde Baru pada tahun 1985 menghendaki agar seluruh ormas dan orpol tunduk kepadanya dengan cara merubah asas organisasinya menjadi asas Pancasila. Meskipun tirani Orde Baru demikian kuat, namun ada sebagian organisasi yang tidak tunduk dengan politik penyeragaman asas tersebut. Di antara yang tidak tunduk itu terdapatlah HMI, PII, dan Gerakan Rakyat Marhaen. Kedua ormas yang disebut terakhir ini pada akhirnya juga tunduk dengan kebijakan rezim Orde Baru. HMI sendiri menjadi terpecah menjadi dua-HMI Dipo dan HMI MPO-akibat pemaksaan asas Pancasila tersebut. HMI MPO dengan cara bawah tanah berusaha bertahan dengan asas Islamnya, meskipun dibayang-bayangi oleh ancaman rezim dan cemoohan dari komunitas pergerakan Islam sendiri yang telah berhijrah ke asas Pancasila.
HMI MPO yang pada mulanya dibentuk untuk tujuan penyelamatan perahu HMI dari oportunisme elit PB HMI yang merubah asas secara sepihak, di kemudian hari mengalami pengentalan ideologis dan sosiologis. Pengentalan ideologis ke arah yang lebih bersifat islamis ditandai dengan berubahnya tafsir atas asas HMI dari semula Nilai Dasar Perjuangan (NDP) menjadi tafsir integral atas asas, tujuan, dan independensi atau yang dikenal dengan Khittah Perjuangan. Khittah Perjuangan baru dapat ditabalkan menjadi dokumen resmi HMI MPO pada tahun 1992. Artinya butuh waktu 5 tahun untuk dapat diterima oleh komunitas HMI MPO sebagai dokumen resminya yang kemudian disosialisasikan di setiap jenjang pelatihan seperti LK-1, LK-2 dan LK-3.
Setting Sejarah Telah Berubah
Tetapi sekarang keadaan telah berubah. E’tatisme rezim yang berkembang selama masa Orde Baru kini hanya tinggal kenangan saja. Sekarang fenomena yang sebaliknya terjadi adalah pengurangan (minimalisasi) peranan negara dalam setiap fungsinya. Desentralisasi dalam bentuk otonomi daerah juga menyumbang dalam proses pengurangan peranan negara yang selama ini sangat kuat. Ditambah lagi dengan berkembangnya praktik demokrasi liberal akhir-akhir ini menjadi sempurnalah pengurangan otoritas dan peranan negara itu. Negara tiba-tiba menjelma menjadi tampak lemah di hadapan otoritas-otoritas lain yang sekarang bertebaran di mana-mana.
Di antara otoritas yang paling berpengaruh dan menetukan tersebut terdapatlah otoritas komunitas bisnis atau kaum pemodal. Pelemahan peran negara dan menguatnya otoritas kaum pemodal ini merupakan kecenderungan umum global sejak naiknya Margaret Thatcher di Inggris dan Ronald Reagan di AS. Kedua pemimpin inilah yang dengan gigih mengekspor model negara minimalis ke seluruh dunia dengan bertopang pada paham neo liberalisme. Gagasan mereka seragam "peranan negara adalah untuk menggalakkan kontrak-kontrak, untuk memasok uang yang cukup … untuk menjamin bahwa kekuatan pasar tidak didistorsi". David Stockman, direktur anggaran Reagan mengatakan, "…visi suatu masyarakat yang baik bertumpu pada kekuatan dan potensi produktif dari manusia bebas dalam pasar bebas." (Noreena Hertz, 2003).
Kerangka Metode Gerakan Mahasiswa
Pengertian terhadap substansi pergerakan harus diikuti oleh pemahaman terhadap metode gerakan dalam tingkatan makro. Permasalahan yang sering muncul dalam kalangan gerakan adalah kuatnya keinginan untuk mendiskusikan dirinya sendiri terhadap perbedaan-perbedaan pandangan di antara mereka. Masalah yang sering mengemuka adalah pendefinisian kategori-kategori yang saling bertentangan yang mencakup beberapa hal sebagai berikut. Perbedaan pandangan pada tingkat kategorisasi gerakan mahasiswa, apakah gerakan tersebut harus merupakan gerakan moral ataukah gerakan politik. Pertanyaan tersebut selalu menjadi wacana yang tiada hentinya didiskusikan sepanjang zaman dan seringkali menjadi penghambat bagi konsolidasi gerakan sipil-demokratik.
Yang harus dipahami dalam perdebatan ini bukan mana yang harus diikuti gerakan moral atau gerakan politik, tetapi pengertian dan konteks yang tepat untuk mendefinisikan identitas gerakan dan menghubungkannya gerakan sosial yang lebih luas untuk kepentingan rakyat. Gerakan Moral pada umumnya didefinisikan sebagai gerakan yang ditujukan untuk memperjuangkan nilai-nilai moral dan berbasiskan pada intellectual power. Nilai-nilai tersebut paling tidak mencakup cita-cita untuk mewujudkan kebenaran, keadilan, kepentingan rakyat, penegakan HAM, demokratisasi, dan lain sebagainya. Pada sisi lain gerakan Politik lebih diartikan sebagai usaha-usaha yang difokuskan pada merebut atau mempertahankan kekuasaan politik baik pada tingkat lokal maupun nasional. Gerakan moral bersinggungan dengan gerakan politik ketika kekuasaan politik dimanfaatkan oleh rezim-rezim otoriter sehingga ada legitimasi rakyat untuk menjatuhkan kekuasaan tersebut.
Pendifinisian gerakan moral dan politik tidak menjadi relevan ketika gerakan politik pun mengklaim selalu didasarkan atas nilai-nilai dan cita-cita moral. Pendifinisian gerakan moral dan politik akan menjadi relevan ketika dihadapkan pada tingkatan ideologi gerakan apakah gerakan ditujukan untuk memperjuangkan nilai-nilai moral ataukah merebutkan kekuasaan semata. Namun demikian jika diletakkan dalam konteks praksis pendefinisian yang tepat dilihat berdasarkan kategorisasi basisnya apakah berbasis pada kekuatan politik (political power) ataukah kekuatan intelektual (intelctual power). Gerakan intelektual adalah manifestasi gerakan moral yang mendasarkan dirinya pada basis-basis intelektual dengan menggunakan pemberdayaan mahasiswa dan masyarakat sebagai orientasi gerakan. Intelectual power juga mensyaratkan adanya kapasitas intelektual dari kalangan gerakan yang cukup untuk meningkatkan daya tangkapnya terhadap persoalan-persoalan kerakyatan serta mampu mengartikulasikannya kepada institusi-institusi negara.
Political power bases movement pada dasarnya adalah gerakan-gerakan sosial yang lebih menjadikan dirinya sebagai kekuatan penekan dalam dialektika politik dan panggung kekuasaan politik. Gerakan mahasiswa yang menggunakan basisnya pada kekuatan politik akan selalu mengarahkan gerakannya untuk usaha-usaha memperebutkan atau mempertahankan kekuasaan politik. Gerakan ini memiliki salah satu ciri kas yang sangat kuat yaitu menggunakan isu-isu yang bersifat elitis dan terkait dengan masalah politik seperti pemilihan umum, kepemimpinan nasional, dan lain sebagainya. Gerakan ini akan memiliki sisi positif apabila diletakkan dalam kedudukan sebagai kekuatan oposisi ekstra-parlementer, namun demikian harus mampu melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Sisi negatif dari gerakan ini adalah menjadi agen dari usaha-usaha integrasi terhadap negara atau elit politik. Dalam beberapa kasus, political power bases student movement ditandai oleh kuatnya clientelism yang disebabkan ketidakmampuan organisasi gerakan memutus hubungan politik dengan alumninya. Dengan demikian gerakan ini tidak lebih menjadi onderbouw salah satu partai politik atau kepentingan elit politik daripasa sebagai sebuah organisasi gerakan sosial.
Sebaliknya intellectual power bases movement ditandai dengan kuatnya semangat independensi baik secara paradigmatik dan praksis politik. Secara pradigmatik, independensi didasarkan atas landasan ideologi organisasi yang jelas dan digunakan sebagai alat untuk membaca fakta-fakta sosial. Secara praksis, independen diartikan sebagai kemampuan untuk menentukan sikap yang relatif otonom ketika berhadapan dengan gerakan-gerakan yang lain ataupun para pendahulunya. Gerakan ini mendasarkan kekuatan organisasinya pada fungsi-fungsi intellectuality (kecendekiwanan) dan menggunakan kekuatan intelektual sebagai dasar untuk mengartikulasikan kepentingan-kepentingan gerakan. Independensi dan intellectuality merupakan karakteristik yang sangat kuat melekat dalam citra diri organisasi. Isu-isu yang diangkat tidak hanya isu-isu elitis tetapi juga isu-isu kerakyatan atau populis yang menjadi kebutuhan rakyat seperti kenaikan BBM, pengangguran, pendidikan, dan lain-lain sebagainya. Gerakan ini dapat berbentuk gerakan advokasi kebijakan ataupun gerakan rakyat (people centered movement). Kelemahan dari organisasi ini adalah pada kuatnya independensi yang pada tingkatan tertentu cenderung digunakan untuk menutup diri dari lingkungan gerakan di sekitarnya.

Perdebatan selanjutnya berada pada tingkatan metode gerakan yang diklasifikasikan sebagai civil society centered movement ataukah state centered movement. Gerakan mahasiswa akan menjadi bagian dari gerakan sosial yang lebih luas jika orientasi gerakannya lebih ditujukan untuk memperkuat keberadaan masyarakat sipil. Jia kita menggunakan pendekatan Gramsci dalam memandang civil society, maka gerakan mahasiswa harus menjadikan dirinya sebagai instrumen perlawanan terhadap dominasi dan hagemoni negara. Antonio Gramsci (1971:12) menjelaskan hal tersebut sebagai berikut:
Untuk kepentingan tersebut gerakan ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai sebuah gerakan sosial yaitu independen dari pengaruh kepentingan elit politik, berbasiskan pada pemberdayaan mahasiswa dan masyarakat, menggunakan intellectuality sebagai instrumen gerakan, dan menegakkan perspektif moral. Sebaliknya kategori yang kedua mengasumsikan bahwa gerakan mahasiswa akan efektif dalam memberikan kontribusinya kepada masyarakat jika dirinya menjadi bagian atau partner dari institusi-institusi ataupun kepentingan politik negara. Dengan mengintegrasikan dirinya dengan negara, maka peluang-peluang untuk mengadvokasi kebijakan menjadi lebih besar. Namun pada kenyataannya, negara lebih diuntungkan daripada gerakan karena neraca transaksi politik yang relatif tidak seimbang atau lebih kuat pada pihak negara.
Pada saat ini jumlah organisasi yang berdiri terus menerus pheriperal (pinggiran) kekuasaan politik sangatlah jarang. Untuk kasus HMI dapat dijadikan contoh yang jelas untuk menentukan posisi-posisi pada kategori di muka. Bila HMI (Dipo) berjalan dengan konsisten pada integration with ellitis bahkan berada pada pusat-pusat kekuasaan negara, maka HMI (MPO) berjalan dengan konsisten pula pada anti-state opposition. Baik HMI (MPO) maupun HMI (Dipo) belum secara efektif menggunakan intellectual power sebagai instrumen gerakan. Sebagai indikatornya adalah kontribusi-kontribusi pemikiran yang konstruktif dan cerdas terhadap proses pengambilan kebijakan negara dari HMI baik MPO maupun Dipo sangat lah minim, bahkan hampir tidak ada.
Posisi di pusat-pusat kekuasaan akan memudahkan organisasi gerakan memiliki akses yang sangat besar untuk masuk ke dalam jajaran elit politik atau melakukan mobilitas vertikal. Namun demikikan, organisasi gerakan seperti ini tidak memiliki roh atau substansi gerakan perlawanan sebagai manifest dari gerakan rakyat atau gerakan sosial yang diterangkan oleh Gramsci. Gerakan integrasi dengan kekuasaan akan hancur secara pelan-pelan bersamaan dengan hancurnya kekuasaan yang menopang organisasi gerakan. Ketiadaan independensi organisasi akan menjadikan organisasi menjadi alat bagi kepentingan elit politik yang didukungnya dan bahkan pada tingkatan tertentu dapat mejadi instrumen kekuasaan negara untuk menjaga kepentingan-kepenitngan kekuasaan yang menindas. Gerakan seperti ini bukan jawaban dari kebutuhan masyarakat yang terpinggirkan oleh negara tetapi justru menjadi legitimasi dari kekuasaan negara yang represif dan hagemonik. Semakin lama organisasi seperti ini akan mendapatkan perlawanan dari dalam sendiri karena membatasi kreativitas politik anggota-anggotanya.
Pada sisi lain, gerakan yang berbasis di masyarakat sipil akan menjadi jawaban dari kebutuhan masyarakat jika benar-benar mampu menjadikan dirinya sebagai people movement atau gerakan rakyat. Gerakan ini diharapkan mampu memberikan kepeloporan baik pada tingkat isu maupun pada tingkat gerakan. Organisasi ini akan berjalan efektif jika mampu menggabungkan kerja-kerja perlawanan terhadap kebijakan negara di tingkat akar rumput dengan kerja-kerja negosiasi dan diplomasi sebagai alat untuk menekan kekuasaan negara. Sebaliknya gerakan ini tidak akan efektif jika hanya bersandar pada political power saja yang didominasi oleh kerja-kerja perlawanan semata tanpa didukung oleh kerja-kerja negosiasi untuk mengartikulasikan kepentingan rakyat kepada negara. HMI MPO selama ini hanya berkutat pada kerja-kerja perlawanan semata tanpa diikuti oleh kerja-kerja diplomasi untuk menekan pemerintah. Namun demikian mempertahankan HMI MPO pada posisi periferal kekuasaan atau terus-menerus pada kerja-kerja perlawanan sebagai substansi gerakan adalah keunggulan HMI MPO dibanding dengan organisasi-organisasi yang lain. Namun demikian, untuk ke depan HMI-MPO juga harus mengembangkan metode-metode gerakannya agar tidak monoton dan tidak elitis sebagai civil society centered movement.
Kerangka teori dan positioning gerakan seperti telah dijelaskan di muka akan membantu melihat anatomi gerakan bagi HMI-MPO. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa HMI MPO telah konsisten berdiri menjadi gerakan yang berbasis pada masyarakat sipil dan telah menggunakan political powernya untuk menolak penerapan asas tunggal pada periode 1986-1998. Tantangan selanjutnya bagi HMI-MPO adalah bagaimana merumuskan gerakannya agar dapat tumbuh menjadi people movement yang kuat dan mendasarkan dirinya pada intellectual power. Sebagai konsekuensinya HMI-MPO dituntut untuk memiliki platform yang jelas sebagai organisasi perlawanan masyarakat sipil di samping sebagai organsiasi perkaderan. Selama ini, revolusi sistemik menjadi salah platform utama organisasi dan menjadi arahan bagi semua kader HMI-MPO, namun demikian tidak ada definisi-definisi yang disepakati secara detail atau derivasi-derivasi program-program politik yang jelas dari revolusi sistemik. Selain itu, HMI-MPO memerlukan instrumen yang jelas untuk melaksanakan platform dan program-program politik tersebut. Berikut ini, akan dijelaskan hubungan antara platform dan instrumen yang perlu dibangun sebagai panduan perjalanan organisasi pada masa depan.
Platform Gerakan: Revolusi Sistemik
Wacana revolusi sistemik telah menjadi platform politik perjuangan HMI-MPO. Menurut Al Mandary (2003:153), HMI telah melakukan sejumlah diskusi dengan perpektif revolusi sistemik. Hal diterjemahkan dalam konteks keindonesiaan sebagai berikut. Pertama, penataan bangunan masyarakat sipil berpandangan dunia “perlawanan dan pembebasan” yang islami atau agamis, mandiri, dan solid. Kedua, diperlukan suatu kepemimpinan informal yang karismatik sehingga ditaati untuk memberi pendidikan politik rakyat berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, kebersamaan, toleransi, dan penghargaan atas perbedaan. Ketiga, perlunya rumusan konstitusi alternatif untuk menggantikan konstitusi pro-penguasa zalim dan menjamin perbaikan sistem politik, ekonomi, hukum, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan keamanan.
Revolusi sistemik sebagai sebuah platform perjuangan pada dasarnya adalah sebuah metode perjuangan revolusioner yang menghendaki perubahan di tingkatan supra-struktur dan sturktur. Perubahan pada tingkat suprastruktur adalah mencakup perubahan cara pandang, ideologi (the way of life), the way of thinking, dan mental masyarakat menuju pengakuan ketauhidan dan keesaan Allah swt. Perubahan pada tingkatan struktur terdiri dari perubahan sistem politik, ekonomi, hukum, dan lain-lain yang diperlukan dalam tatanan penyelenggaraan kekuasaan negara agar berpihak pada kepentingan rakyat. Dengan demikian, revolusi sistemik adalah anti-tesa dari revolusi demokratik yang cenderung menghendaki perubahan-perubahan pada level struktur dan dilakukan oleh kekuatan-kekuatan pro-komunis. Bila digambarkan kedudukan revolusi sistemik dalam anatomi metodologi gerakan HMI-MPO dibandingkan dengan metode gerakan partai-partai komunis adalah sebagai berikut:

HMI-MPO VS Partai-Partai Komunis
Masyarakat beradab Masyarakat komunis
Revolusi sistemik Revolusi demokratik
Komunitas masya pro-perubahan Partai-partai komunis

Cabang berbasis ke-ilmuan Front-front persatuan nasional
Mahasiswa Islam Kelas-kelas sosial: petani, buruh

Sebagaimana digambarkan di muka, revolusi sistemik adalah sebuah metode sekaligus platform perjuangan.yang ditujukan untuk membangun terciptanya tatanan masyarakat yang diridloi Allah Swt atau masyarakat yang beradab. Hal ini berbeda dengan revolusi demokratik yang dimaksudkan untuk membangun terciptanya tatanan masyarakat yang komunis atau sosialis.7 Sistem komunis selalu mencita-citakan terbentuknya tatanan sosial tanpa keberadaan kelas-kelas sosial, hal ini berbeda dengan tatanan masyarakat beradab yang lebih menekankan tatanan masyarakat yang berkeadilan berdasarkan atas nilai-nilai agama. Konsep masyarakat beradab ini tercantum dalam tujuan HMI yaitu ikut bertanggung jawab membentuk tatanan masyarakat yang diridloi Allah Swt.
Desain gerakan berbasis keilmuan akan menopang pilihan positioning HMI-MPO yang secara konsisten berdiri dalam wilayah masyarakat sipil atau civil society centered movement. Selain itu, desain ini akan mendorong kapasitas kader-kader HMI untuk lebih meningkatkan akumulasi intellectual power yangdimilikinya. Hal tersebut akan mentrasformasikan HMI-MPO dari sekedar gerakan oposisi ekstra-parlementer yang berbasis gerakan mahasiswa menjadi gerakan rakyat atau gerakan masyarakat sipil. Salah satu kekurangan atau kelemahan HMI-MPO pada saat ini adalah ketidakmampuannya dalam memanfaatkan kekuatan intelektual yang dimiliki kader-kadernya untuk kepentingan gerakan dalam bentuk advokasi rakyat dari kebijakan-kebijakan negara yang menindas. Hal ini mudah dipahami karena dari tahun 1986-1998 HMI MPO menjadi organisasi gerakan bawah tanah yang kehadirannya dilarang oleh negara. Selain itu, proses perkaderan yang menekankankan pada pembangunan epistemologi hanya mereduksi pembangunan kapasitas intelektual kader-kader HMI. Hal ini dibuktikan dengan kurangnya usaha rekonstruksi sistem ilmu pengetahuan yang telah didekonstruksikan lingkungan perguruan tinggi.
Pemikiran kritis-konstruktif menuntut kemampuan HMI dalam mengartikulasikan kepetingan-kepentingan gerakan rakyat melalui jalur-jalur dialog dan diplomasi terhadap lembaga-lembaga politik resmi seperti pemerintah dan DPR serta pihak-pihak yang berwenang. Proses demokrasi yang sedang berjalan memungkinkan terjadinya dialog antara gerakan rakyat dengan aktor-aktor institusi negara yang pro-reformasi. Hal ini dilakukan bukan untuk kepentingan kooptasi negara tetapi untuk mendesakkan aspirasi dan program-program kerakyatan hasil pemikiran HMI kepada negara. Positioning HMI-MPO bukanlah menjadi agen-agen negara tetapi menjadi penekan kebijakan agar negara mampu mengakomodasi kepentingan rakyat. Kritikan HMI terhadap negara haruslah diikuti dengan rumusan permasalahan yang rasional dan ilmiah dalam artian berbasis pada gerakan intelektual. HMI perlu menjadi fasilitator dan moderator bagi kader-kadernya untuk memberikan usulan perubahan sistem ke-Indonesiaan bagi kaum lemah dan terpinggirkan.
Gerakan intelektual adalah upaya-upaya HMI untuk kembali ke basis mahasiswa yang bervisi profetis. Pengembangan wacana epistemologis dalam gerakan intelektual harus diterjemahkan sampai pada tingkat wacana akademik sehingga ide-ide besar HMI mampu dikembangkan di kampus-kampus, institut-institut, universitas-universitas, dll. Khitah perjuangan dan pedoman pengkaderan harus diarahkan untuk memberikan ruang-ruang yang lebih besar kepada pengembangan intelektual kader sesuai dengan bidang akademik yang dipelajarinya. Cabang-cabang harus mampu menjadi fasilitator komisariat-komisariat pada satu disiplin ilmu tertentu untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan basis keilmuannya dan mampu mengusulkan alternatif perubahan sistem ke-Indonesiaan untuk kaum lemah dan terpinggirkan. ( = digali dari beberapa sumber )
* Mantan Ketua Umum HMI Cabang Sleman Periode 2004/2005