Like this ?

Selasa, 21 Maret 2017

Hari Air dan Mbok Patmi

Hari Air dan Mbok Patmi

22 Maret tepatnya diperingati sebagai Hari Air Dunia. Jargon yang tak lekang oleh waktu adalah “ Save Water For Better Life “. Pihak – pihak yang biasanya diharuskan melakukan kampanye adalah yang berkepentingan dengan terjaganya Air. Bisa Kementrian PU dengan program Jambore Sanitasi, Kementrian kesehatan atau bisa jadi dengan kementrian Lingkungan Hidup dan kehutanan. Bagaimana dengan Perusahaan – perusahaan yang mengkomersialisasi  Air dalam Negeri? Ada *Qua, L*mineral, dan bermacam – macam merk kemasan plastik yang bisa jadi sampah yang ditimbulkan lebih mencemari daripada program CSR nya. Re-Use, Re-Cycle, Re-Duce atau menanam beberapa pohon, cukup hanya terlihat ceremonial apik buat laporan kepada siapa saja. Tidak seimbang dengan jutaan kubik air yang disedot di hulu dan tercemari di hilir. Hemmmm ... yang penting untung dan untung, siapa yang nggak butuh air bersih sich? Apalagi dikemas dengan tambahan mineral basah alami yang konon ampuh untuk karsiogenik dan segala penyakit asam dari tubuh.

Air dibutuhkan siapa saja, baik manusia, hewan dan tumbuhan penjaga airpun membutuhkan air. Sawah yang setiap hari berasnya kita makan juga sangat membutuhkan air untuk  tumbuh dan berbiji. Pakde menggulirkan Dana Desa inipun salah satunya memperkuat Irigasi agar sawah – sawah itu tidak kering. Yang terlanjur kering bagaimana, buat sumur – sumur sedot – sedot sampai menunggu musim bersahabat lagi. Ya...  Mandiri Pangan, Swasembada pangan mungkin ada dituangkan dalam Nawacita yang menjadi kitab perjuangan Pakde. Tetapi akan menjadi sangat rancu dan bertolak belakang  jika kemudian menutup mata pada Ibu – Ibu Kartini dari kendeng yang dengan keberanian luar biasa mengecor kakinya untuk mengatakan bahwa Karts Kendeng tidak butuh Pabrik Semen.

Ambisi menjadi Raja Semen Dunia dengan menggenjot infrastruktur tidak kemudian menutup mata bahwa kebutuhan  pangan dan kemandirian pangan adalah sebuah kebutuhan dasar. Ibu – Ibu ini tidak hanya mengkuatirkan airnya tidak akan mengalir lagi di sawah – sawahnya. Singkong dan Jagung dikuatirkan akan mengering dan mati. Bentang alam yang berubah tentunya akan mengganggu daur hidrologi. Orang – orang pinter ahli prediksi – prediksi itu berbicara sangat menggiurkan siapapun investornya, 100 tahunpun kapur itu ditambang tidak akan habis. Artinya Kita yang mati duluan anak cucu kita masih menikmati pabrik semen terhebat didunia pun dengan mengorek – ngorek bekas tambang bercampur debu putih nyaris tidak ada hijau - hijaunya.

Apa yang terjadi sekarang dengan MIGAS dan Batubara? Daerah – daerah yang mengandalkan sektor inipun meradang. Harga murah, ditemukan sumber – sumber baru belum pula bersaing dengan bioenergi yang sudah mulai familiar, murah  dan diproduksi massal. Ikhlas meninggalkan biofossil yang memang seharusnya tetap saja menjadi fossil.

Mbok – Mbok yang berjuang di kendeng secara nyata melindungi air, bukan hanya untuk 100 tahun tetapi  untuk anak cucu tak terputus. Karst kendeng menyimpan sejarah Napak Tilas kelahiran sebuah bangsa dengan budaya yang terus tumbuh, nisan – nisan kuburan yang ditanam itu dulu tokohnya adalah warga mencintai jiwa dan raga Tanah air kita. Karst Kendeng tabungan air sebelum kemarau gilas menguapkan  air – air itu, difilter secara alami oleh karst kemudian saat kemarau disisakannya  untuk  tetap mengairi sawah, untuk mandi dan yang pasti  “ Untuk Urip Sing Mung Mampir Ngombe”.    Al- Fatehah untuk  Mbok Patmi.

#Save_Karst_Kendeng
#Save_Karst_Sangkulirang

http://www.elmoudy.com/pegunungan-kendeng-from-space