Like this ?

Sabtu, 15 Juni 2013

MENDIDIKAN KARAKTER RAMAH LINGKUNGAN BAGI ANAK USIA SEKOLAH

A. PENDAHULUAN PERSPEKTIF AGAMA TENTANG PENDIDIKAN LINGKUNGAN Ar Ruum – 30 : 41. “Telah tampak kerusakan di darat dan dilaut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Al Qashash – 28 : 77. Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Al A'Raaf 7 : 56. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. Kehidupan manusia di bumi digambarkan dalam Al-Quran adalah tidak kekal. Suatu saat nanti, ketika bumi diguncang dan semua benda yang ada porak-poranda dan binasa, manusia akan dibangkitkan dari kematiannya untuk dimintai pertanggung jawaban atas apa yang telah dilakukannya di dunia. Sebuah petunjuk yang bermakna bahwa perbuatan manusia semasa hidup di dunia haruslah bernilai baik bagi semesta alam jika ingin bernasib baik di dunia dan akherat nanti. Oleh karena itu, merawat alam merupakan perintah yang mesti dikerjakan setiap muslim. Innahu kahu kaana zuluman zahuula. Bahwa manusia itu bodoh dan sangat bodoh, karena tindakan manusia yang melakukan tindakan-tindakan yang tidak adil, baik terhadap manusia sendiri maupun terhadap alam semesta. Banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa alam ini untuk masa depan manusia. Alam untuk kehidupan generasi yang akan datang sampai tiba saatnya pada hari kiamat. Dalam satu hadist Nabi Muhammad SAW, “Jika sebelum kiamat itu ada satu biji kurma saja ditangan kamu dan kamu bisa menanamnya, maka tanamlah itu.” Hal ini, merupakan isyarat bahwa pada saat-saat yang terakhirpun Tuhan memerintahkan kepada kita untuk bisa menanam dan tidak diperbolehkan untuk berbuat kerusakan. Umat Kristiani (Katholik) tentu mengenal Santo Francis Assisi, atas sikap beliau yang menghormat pada setiap makhuk hidup. Dengan menyaksikan setiap makhluk yang ditemuinya, maka dia melihat ada keberadaan Tuhan. Diriwayatkan pula, St. Francis, dalam sebuah perjalanannya, melihat sekelompok burung, kemudian beliau meninggalkan rombongan, mendatangi kelompok burung tersebut lalu membacakan firman Tuhan dan berdoa:” Saudara-saudaraku para burung, seharusnya kalian bersyukur kepada sang Penciptamu, dan mencintaiNya, Dia memberimu bulu yang indah sebagai pakaian, serta sayap yang membuatmu dapat terbang kemana pun yang kau mau. Tuhan telah memberikan kekuasaanya atasmu dibandingkan ciptaanNya yang lain, memberimu ruang gerak di udara segar, sehingga saat terbang kamu tidak Bagi para pemimpin agama, kesadaran terhadap lingkungan bukan merupakan suatu yang baru. Inisiatif pertama kali menggalang kesadaran pemimpin agama tersebut diadakan di Assisi, Italia. Pertemuan yang diadakan oleh World Wildlife Fund (WWF) tahun 1986 ini bergiat mengumpulkan seluruh pemuka agama guna menghadapi krisis lingkungan dan konservasi alam yang terjadi di bumi, dan menghasilkan: “Deklarasi Assisi” dimana masing masing agama memberikan pernyataan tentang peran mereka dalam melestarikan alam, yaitu : “Kerusakan lingkungan hidup merupakan akibat dari ketidak taatan, keserakahan dan ketidak perduliaan (manusia) terhadap karunia besar kehidupan.” (Budha). “Kita harus, mendeklarasikan sikap kita untuk menghentikan kerusakan, menghidupkan kembali menghormati tradisi lama kita (Hindu).” “Kami melawan segala terhadap segala bentuk eksploitasi yang menyebabkan kerusakan alam yang kemudian mengancam kerusakannya,” (Kristiani) “Manusia adalah pengemban amanah, berkewajiban untuk memelihara keutuhan CiptaanNya, integritas bumi, serta flora dan faunanya, baik hidupan liar maupun keadaan alam asli,” (Muslim) Pada Millennium Ecosystems Assessment Report (2005) memberitahukan kepada kita, bahwa manusia sekarang ini sedang membinasakan sistem yang menyokong kehidupan mereka sendiri dalam taraf yang mengkhawatirkan. Data-data menunjukkan bahwa manusialah yang menjadi penyebab perubahan iklim, meracuni udara, air, dan tanah, sehingga kesehatan manusia termasuk semua spesies yang ada ikut terancam keberadaannya. Selain itu, ledakan populasi dalam abad 20 dari 2 menjadi 6 milyar penduduk akan menyebabkan kendala yang akan berbenturan dengan masalah sumber daya alam. Para ilmuwan telah mendokumentasikan bahwa kita hidup ditengah ancaman kepunahan periode keenam, yang diindikasikan oleh banyaknya spesies yang punah pertahun. Sekarang ini dinyatakan, lebih dari 10.000 spesies setiap tahun sama dengan lajunya kepunahan spesies dalam 65 juta tahun yang lalu, saat itu terjadi kepunahan Dinosaurus. Sehingga kita sedang mematikan sistem kehidupan kita sendiri di bumi yang mendahului era geologis yang sedang berjalan. Para ilmuwan telah menunjukkan dengan penelitian intensif bahwa planet bumi telah terancam. Selain itu akibat perubahan iklim dan kehilangan habitat dan ekspansi yang dilakukan oleh manusia, kepunahan spesies semakin bertambah tinggi. Sedikitnya ada 15 spesies telah punah dalam 20 tahun terakhir, 12 spesies dapat bertahan hidup karena diperlihara ditangkarkan oleh manusia. Namun, diyakini bahwa sebenarnya spesies yang mengalami kepunahan jumlahnya jauh lebih besar. Lebih dari itu menurut penelitian Global Species Assessment (GSA) dalam Siaran Pers bulan November 2004, sekitar 15.589 spesies yang terdiri dari 7.266 spesies satwa dan 8.323 spesies tumbuhan dan lumut kerak, diperkirakan berada dalam resiko kepunahan. Komunitas agama yang ada selama ini memang taat terhadap ajaran mereka, terlepas apakah juga tidak peduli dengan tingkat kerusakan yang dahsyat seperti sekarang ini? Para pengikut agama yang memahami tentang kritisnya alam, tentu saja memahami bahwa apa yang sedang kita hadapi sebenarnya berhubungan dengan masalah lingkungan dan tantangan-tantangan sosial. Tentu saja tidak pula diragukan bahwa masa depan sistem kehidupan di planet ini sedang terancam. Pertanyaan yang muncul pada persoalan lingkungan dan agama adalah dapatkah manusia bertahan hidup dalam siklus kehidupannya di bumi ini? Sebagaimana teolog Yunani ortodok, John of Pergamon, telah menulis: bahwa sesungguhnya tidaklah mudah untuk menciptakan ‘etika amanah’ dimana kita harus ‘mengelola’ bumi dengan baik. Namun, krisis ini menantang kita untuk memformulasikan kealamiahan kita selaku manusia, secara ontologi. Jika kita tetap berpangku tangan dan terlena menyaksikan keserakahan di atas bumi, bukankah itu berarti rasa keberagamaaan kita telah mati atau setidaknya mulai berkurang? Mengapa Agama-agama sangat terlambat dalam merespon masalah lingkungan? Lalu, apa yang menjadi penghambat keterlibatan mereka dalam ikut berperan? Sudahkah pengorbanan pribadi atau keikhlasan menjadi sebuah tantangan dalam merawat setiap ciptaan Tuhan? Mengapa ada pemikiran sempit yang menjadikan interpretasi yang mengatakan bahwa kehancuran lingkungan sebagai suatu manifestasi berakhirnya bumi? Kita tidak mengesampingkan sisi gelap agama dari sisi adanya kekerasan dan sektarianisme. Namun, agama mempunyai berbagai pembentuk budaya yang telah berabad-abad dapat memberikan sumbangan dalam memikirkan kembali persoalan yang kita hadapi. Agama telah mengembangkan etika bagi mencegah terjadinya saling bunuh (homicida), membunuh diri sendiri (suicida), atau membunuh suku bangsa lain (genocida); namun, sekarang tantangan agama adalah untuk menghadapi ancaman pembunuhan makhluk hidup (biocide) dan pembunuhan akibat kerusakan lingkungan (ekosida). Jadi, sesungguhnya persoalan lingkungan cukup mewakili untuk memberikan alasan, untuk bisa melibatkan dialog antar agama. Hal mendasar lagi adalah keberadaan bumi itu sendiri dimana agama menghormati kesucian dari ciptaan yang dikaruniakan untuk ummatnya. Saling merasa berbagi dalam menghadapi meluasnya krisis lingkungan, tentunya merupakan sebuah momentum untuk menghadirkan agama dalam bersama-sama memikirkan hal serupa—yaitu masa depan kehidupan di planet bumi, Apa yang terjadi merupakan suatu panggilan agar agama-agama bangkit dan merentangkan kesadaran moral mereka untuk melindungi kehidupan dan mencegah kepunahan akibat peran manusia mengelola bumi. Pada suatu hari, Emil Salim yang waktu itu menjadi Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup saat itu, datang menghadap ulama besar dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Prof. Haji Abdul Malik Karim Amarullah (HAMKA), dan berharap pada ulama agar dapat memberikan bantuan dalam menyadarkan ummat Islam terhadap lingkungan. Emil mengatakan, “Buya, apa yang bisa dilakukan ummat Islam dalam melestarikan lingkungan hidupnya,” Prof Hamka, dengan arif menjawab: tidak ada yang salah dengan ajaran Islam dalam soal lingkungan hidup. “Tetapi kesalahan terjadi pada bagaimana cara kita mengajarkan Islam kepada masyarakat.” Kata Buya Hamka, umat Islam akan tersentuh jika segala hal praktis dapat langsung dirasakan mereka. Misalnya umat Islam harus shalat lima waktu. Maka diperlukan air wudhu yang mensucikan. Dari mana umat mendapatkan air bersih? Dari sungai yang mengalir dari air tanah yang sah yang memenuhi persyaratan untuk menghadap khaliqnya. Dengan demikian setiap ummat Islam harus memelihara air serta sumber-sumbernya agar mereka bisa beribadah kepada Allah. Jadi wajib hukumnya umat memelihara sumber-sumber air tersebut. Kesadaran transisisi terhadap beragam bentuk dan diversitas budaya dalam pendekatan etika lingkungan mulai mendapat tempat di seantero dunia. Hal ini dikarenakan agama-agama pun mulai sadar bahwa rantai kehidupan sedang terancam. Tradisi monoteistik seperti Yahudi, Kristiani dan Islam menemukan tempat masing-masing di bidang lingkungan. Lalu kegiatan ini diikuti pula oleh pemeluk Hindu, dan Jainisme di Asia Selatan, Konghucu dan Taoisme di Asia Timur, dan Budisme di Asia dan di Barat. Juga dilakukan oleh masyarakat asli di Afrika, Asia, Pasifik, dan penduduk asli Amerika yang kelihatannya juga ikut urun rembuk menyumbangkan kearifan kuno mereka dalam diskusi-diskusi mengenai lingkungan. Semua tradisi ini sedang menuju untuk menemukan rumusan bahasa, simbol dan ritual untuk mendukung penyelamatan bioregion dan spesies. Dalam menuju hal tersebut agama-agama mendatangkan sebuah energi guna memulihkan kehidupan di bumi dalam bentuk praktis, misalnya dengan mengadakan penanaman pohon, perlindungan terumbu karang, dan pembersihan sungai. Upaya ini, sesungguhnya merupakan permulaan untuk menjembatani mereka yang perduli dengan keadilan sosial dan ekonomi dengan mereka yang bekerja untuk pelestarian lingkungan. Di Indonesia, gerakan tradisi Islam untuk menyelamatkan lingkungan upaya sudah pula dimulai dan sungguh mengesankan. Di beberapa tempat, dijumpai proyek inisiatif akar rumput untuk misalnya menanam pohon dengan atas anjuran prinsip praktis ajaran Islam. Harapannya, hal seperti ini mendapatkan perhatian yang lebih luas, karena akan secara efisien dapat diterima dan dimengerti secara luas, baik itu di Indonesia maupun di belahan bumi lain di muka bumi. B. KARAKTER SEBAGAI SUBYEK SIKAP HIDUP RAMAH LINGKUNGAN Sikap atau perilaku masyarakat telah dibentuk sepanjang tahun melalui kebudayaan dan pendidikan. Agama merupakan Ibu dari budaya dan pendidikan. Masyarakat berkarakter ramah lingkungan terbentuk dengan individu – individu ramah lingkungan. Agama dan Budaya yang sudah ada dapat diimplementasikan sebagai sebuah nilai yang bergerak dalam suatu sikap atau perilaku komunal masyarakat. Berdasarkan analisis atas perilaku masyarakat di negara yang pendidikannya sudah maju, membuktikan bahwa mayoritas penduduknya sehari-hari mengikuti/ mematuhi prinsip-prinsip dasar kehidupan sebagai berikut : 1. Etika, sebagai prinsip dasar dalam kehidupan sehari-hari 2. Kejujuran dan integritas 3. Bertanggung jawab 4. Hormat pada aturan & hukum masyarakat 5. Hormat pada hak orang/ warga lain 6. Cinta pada pekerjaan 7. Berusaha keras untuk menabung & investasi 8. Mau bekerja keras 9. Tepat waktu Membangun Karakter Diri ( cara pikir/ cara pandang/ bersikap/ bertindak ) dengan selalu melakukan “perubahan” kearah kompetensi yang unggul. Kekuatan “ Otak ” lebih berperan dari pada “Kekuatan Otot” (Anthony Robin), sedangkan kedua kekuatan ini tidak punya arah tanpa “Kekuatan Hati”. Seperti pepatah berbicara “ Ilmu Tanpa Agama akan Buta, Agama tanpa Ilmu lumpuh! “ (Einstain) FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEINGINAN BERUBAH PADA DIRI MANUSIA menurut Prof. Gay Hendrick & Dr. Kate Ludeman Sikap hidup yang mencerminkan karakter menurut Prof. Gay Hendrick & Dr. Kate Ludeman menjadi kunci perubahan, tidak hanya bertumpu pada pengetahuan ( knowledge) atau ketrampilan hidup ( life skill ). Attitude atau sikap disini menunjukan karakter seseorang, bagaimana bertindak, bagaimana berbicara atau seseorang mengatasi sebuah permasalahan. Hal ini senada juga dengan yang disampaikan Sheal, Peter R.(1989) tentang bagaimana dalam proses pembelajaran dapat merubah sikap hidup/ karakter seperti yang dijelaskan dalam gambar 2 dibawah ini. Proses belajar mengajar dengan metode bermain peran/ role play, bermain simulasi dan mengerjakan hal yang nyata mempunyai peran 90 % untuk di ingat dan nantinya akan dijadikan logika bersikap yang membentuk karakter seseorang. Metode inilah yang diharapkan dapat dididikkan ke peserta didik. C. MERUMUSKAN KURIKULUM FORMAL DAN INFORMAL BERBASIS PENDIDIKAN RAMAH LINGKUNGAN C.1 KURIKULUM FORMAL Pada Garis Besar Isi materi ( GBIM ) Pendidikan Lingkungan Hidup ( PLH ) wilayah Kalimantan menjelaskan kurikulum PLH secara jenjang bertingkat, misalnya dari jenjang SD seperti bagan dibawah ini. Peta Materi Pendidikan Lingkungan Hidup SD/MI Sedangkan untuk jenjang SMA Kurikulum yang telah disusun diatas dalam usaha menerapkannya dapat melalui 1 mata pelajaran tertentu (singular) atau dapat dimasukkan pada setiap mata pelajaran bidang studi yang lain. Masing – masing memiliki kelemahan dan kelebihan, jika PLH menjadi 1 mata pelajaran tertentu maka pemahaman secara sistematik dan pengukuran indikatornya akan mudah, tetapi jika PLH disusupkan kepada mata pelajaran yang lain siswa akan mendapatkan problem solving yang dapat ditinjau dari lintas sektoral. Pemahaman penyeleseian permasalahan interdisipliner sudah diperkenalkan sejak dini tetapi akan sangat sulit mengukur indicator keberhasilannya karena bobot yang berbeda pada masing – masing mata pelajaran. Konsep – konsep kurikulum yang sudah ada perlu penerapan metode pembelajaran, pelibatan peserta didik secara langsung apalagi menegerjakan hal – hal yang nyata, hal – hal yang bersentuhan dengan permasalahan lingkungan hidup disekitarnya baik disekitar sekolah, rumah atau kota tempat peserta didik berada memberikan dampak nyata terhadap cara berpikir, cara membuat paradigma/ sudut pandang memecahkan permasalahan dan akhirnya membawa perubahan sikap/ attitude atau karakter ramah lingkungan yang diharapkan. Program ADIWIYATA untuk sekolah – sekolah Go Green yang digalakkan Kementrian Lingkungan Hidup, senada dengan program – program yang lain seperti ADIPURA, KALPATARU, duta lingkungan, duta sanitasi dan lain – lain, tentunya mempunyai dampak yang positif sebagai reward terhadap peserta didik atau masyrakat. Program – program yang sudah ada perlu dievaluasi lebih mendalam melihat sejauh mana tingkat umpan baliknya terhadap perilaku masyarakat yang diharapkan. Misalnya ADIPURA, jika indicatornya hanya bersih dan indah tanpa diikuti habit/ kebiasaan masyarakat tentunya penghargaan ini hanya bersifat temporal. Karena sasaran sesungguhnya adalah membentuk budaya masyarakat. Kota-kota yang mempunyai target ADIPURA atau sekolah – sekolah yang mempunyai target ADIWIYATA akan menjadi mudah jika mengalokasikan anggaran sejumlah tertentu sesuai target yang dicapai, dapat digunakan untuk membayar banyak orang untuk menjadi Pasukan Kuning atau tim pembersih, penata dan pemeliharaan. Tetapi kebersihan, keindahan, kehijauan kota atau sekolah merupakan kesadaran komunal dari anggota masyarakat atau sekolah. C.2 KURIKULUM INFORMAL Berbicara kurikulum informal yang dimaksud adalah lingkungan keluarga termasuk didalamnya lingkungan masyarakat. Di dalam sebuah keluarga dalam menerapkan PLH memerlukan tauladan contoh sikap dari kedua orang tua. Misalnya menyediakan tempat sampah terpisah di rumah dan memberikan contoh dimana jenis sampah itu dibuang. Membangun kedisiplinan semacam ini akan menjadi kebiasaan anak yang dapat ia bawa kemanapun anak tersebut berada. Menyanyangi tanaman dengan merawat berbagai macam tanaman diruang – ruang kosong di rumah, menjaga kebersihan selokan atau halaman taman atau kebun disekitar rumah, mungkin dengan menyediakan waktu khusus setiap minggu atau sebulan untuk kerja bakti seluruh anggota keluarga untuk membersihkan dan merawat lingkungan sekitar rumah. Selain itu budaya hemat energy juga diterapkan sejak dini misalkan menutup kran rapat – rapat, mematikan lampu atau elektronik lainnya yang tidak terpakai, Bike to work atau menggunakan kendaraan umum/ massal, tidak membudayakan beli baju baru saat lebaran, mengajak menanam one man five tree dan lain – lain. Lingkungan masyarakat baik RT, RW, Desa dengan cara kerja bakti pada hari-hari yang disepakati. Seperti 17- an, memasuki puasa atau kegiatan untuk mencegah penyakit Demam Berdarah. Tentunya dalam kerjabakti kita juga mengajak anak-anak sebagai proses pembelajaran. D. PENUTUP Mendidikan karakter ramah lingkungan bagi anak usia sekolah dibutuhkan metode – metode pembelajaran yang melibatkan langsung peserta didik dengan kegiatan – kegiatan nyata, memberikan contoh – contoh sikap ramah lingkungan sejak dini pada keluarga. Dukungan masyarakat dan pemerintah dalam mewujudkan budaya ramah lingkungan sangat dibutuhkan. Adanya kebijakan – kebijakan yang tegas terhadap komitmen ramah lingkungan, menegakkan peraturan perundangan lingkungan dengan memberi punishmen bagi yang melanggar serta reward bagi yang memberikan support nyata. Daftar Pustaka 1. www.religionandecology.org 2. www.environment.harvard.edu/religion 3. Tucker’s Worldly Wonder: Religions Enter Their Ecological Phase (Open Court, 2003) and Tucker and Grim, Worldviews and Ecology (Orbis, 2001) 4. Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Kalimantan, Garis Besar Isi Materi (GBIM) Pendidikan Lingkungan Hidup, 2007 5. Sukro Muhab, Konsp dan Implementasi Sekolah Islam Terpadu/SIT, 2010 .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar