Like this ?
Sabtu, 15 Juni 2013
MEMBANDINGKAN KEARIFAN SUKU BADUY DALAM DENGAN KEARIFAN LOKAL SUKU DAYAK KALIMANTAN PADA ARUS MODERNISASI
MEMBANDINGKAN KEARIFAN SUKU BADUY DALAM DENGAN
KEARIFAN LOKAL SUKU DAYAK KALIMANTAN PADA ARUS MODERNISASI
Rofiah
( Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan
Universitas Mulawarman )
PENDAHULUAN
Kearifan lingkungan atau kearifan lokal (lokal wisdom) sudah ada di dalam kehidupan masyarakat semenjak zaman dahulu, kearifan lingkungan merupakan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat (Wietoler, 2007), yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas masyarakat untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan di suatu daerah dan akan berkembang secara turun-temurun, secara umum, budaya lokal atau budaya daerah dimaknai sebagai budaya yang berkembang di suatu daerah, yang unsur-unsurnya adalah budaya suku-suku bangsa yang tinggal di daerah itu.
Kearifan lokal sering juga dimaknai sebagai suatu pemikiran yang tidak berdasarkan pada teori-teori yang ada, yang dipahami sebagai kepercayaan dan suatu tradisi yang harus dilakukan oleh masyarakat setempat, tanpa mengkaji secara mendalam pemaknaan manfaat dari adanya kearifan lokal yang tumbuh dari masyarakat itu sendiri.
Kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat atau daerah. Jadi merujuk pada lokalitas dan komunitas tertentu. Menurut Putu Oka Ngakan dalam Andi M. Akhmar dan Syarifudin (2007) kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya hidup secara arif. Maka dari itu kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya berbeda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan berbagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial. Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan lokal bukanlah suatu hal yang statis melainkan berubah sejalan dengan waktu, tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat. Sementara itu Keraf (2002) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Semua bentuk kearifan lokal ini dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia, alam maupun gaib.
Selanjutnya Francis Wahono (2005) menjelaskan bahwa kearifan lokal adalah kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis yang sudah berabad-abad teruji oleh berbagai bencana dan kendala serta keteledoran manusia. Kearifan lokal tidak hanya berhenti pada etika, tetapi sampai pada norma dan tindakan dan tingkah laku, sehingga kearifan lokal dapat menjadi seperti religi yang memedomani manusia dalam bersikap dan bertindak, baik dalam konteks kehidupan sehari-hari maupun menentukan peradaban manusia yang lebih jauh. Adanya gaya hidup yang konsumtif dapat mengikis norma-norma kearifan lokal di masyarakat. Untuk menghindari hal tersebut maka norma-norma yang sudah berlaku di suatu masyarakat yang sifatnya turun menurun dan berhubungan erat dengan kelestarian lingkungannya perlu dilestarikan yaitu kearifan lokal.
Untuk itu kita perlu menggali kembali kearifan lingkungan masyarakat, peran serta dari semua disiplin ilmu baik teknik, geologi, geografi, hidrologi, sosiologi dan lain sebagainya dalam mengelola kawasan secara berkelanjutan. Mengingat dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan adanya kemajuan teknologi membuat orang lupa akan pentingnya tradisi atau kebudayaan masyarakat dalam mengelola lingkungan, seringkali budaya lokal dianggap sesuatu yang sudah ketinggalan di abad sekarang ini, sehingga perencanaan pembangunan seringkali tidak melibatkan masyarakat ( top down ).
Kearifan lokal Suku Baduy Dalam
Menurut Gunggung Senoaji (2003 :121) Masyarakat Baduy percaya bahwa mereka adalah orang yang pertama kali diciptakan sebagai pengisi dunia dan bertempat tinggal di pusat bumi. Segala gerak laku masyarakat Baduy harus berpedoman kepada buyut yang telah ditentukan dalam bentuk pikukuh karuhun. Seseorang tidak berhak dan tidak berkuasa untuk melanggar dan mengubah tatanan kehidupan yang telah ada dan sudah berlaku turun menurun.
Pikukuh itu harus ditaati oleh masyarakat Baduy dan masyarakat luar yang sedang berkunjung ke Baduy. Ketentuan-ketentuan itu diantaranya adalah :
1. Dilarang masuk hutan larangan (leuweung kolot) untuk menebang pohon, membuka ladang atau mengambil hasil hutan lainnya
2. Dilarang menebang sembarangan jenis tanaman, misalnya pohon buah-buahan, dan jenis-jenis tertentu
3. Dilarang menggunakan teknologi kimia, misalnya menggunakan pupuk, dan obat pemberantas hama penyakit dan menuba atau meracuni ikan
4. Berladang harus sesuai dengan ketentuan adat, dll
Buyut dan pikukuh karuhun dilafalkan dangan bahasa sunda kolot dalam bentuk ujaran
yang akan disampaikan pada saat upacara-upacara adat atau akan diceritakan oleh orang tua kepada anak-anaknya.Ujaran-ujaran itu dianggap sebagai prinsip hidup masyarakat Baduy.
Orang Baduy juga berpegang teguh kepada pedoman hidupnya yang dikenal dengan dasa
sila, yaitu (Djoeswisno dalam Gunggung Senoaji, 2003 : 125)
1. Moal megatkeun nyawa nu lian (tidak membunuh orang lain)
2. Moal mibanda pangaboga nu lian (tidak mengambil barang orang lain)
3. Moal linyok moal bohong (tidak ingkar dan tidak berbohong)
4. Moal mirucaan kana inuman nu matak mabok (tidak melibatkan diri pada minuman yang memabukkan
5. Moal midua ati ka nu sejen (tidak menduakan hati pada yang lain/poligami)
6. Moal barang dahar dina waktu nu ka kungkung ku peting (tidak makan pada tengah malam)
7. Moal make kekembangan jeung seuseungitan (tidak memakai bunga-bungaan dan wangi-wangian)
8. Moal ngageunah-geunah geusan sare (tidak melelapkan diri dalam tidur)
9. Moal nyukakeun atu ku igel, gamelan, kawih, atawa tembang (tidak menyenangkan hati dengan tarian, musik atau nyanyian)
10. Moal made emas atawa salaka (tidak memakai emas atau permata)
Dasar inilah yang melekat pada diri orang Baduy, menyatu dalam jiwa dan menjelma dalam perbuatan, tidak pernah tergoyah dengan kemajuan zaman. Jika dilihat kehidupan masyarakat Baduy, sulit untuk dipertemukan dengan keadaan zaman sekarang. Jikapun ada sedikit penyesuaian ada pada suku Baduy Luar.
Bagaimana Suku Dayak memiliki kearifan lokal terhadap Pengelolaan SDA?
A. Mengelola Api
Kearifan penyebab kerawanan hutan terhadap kebakaran, penyebab api liar, sumber api rutin di lahan, teknik mencegah terjadinya kebakaran, tanda kemarau dan dengan adanya sangsi jipen (denda) bagi pelanggar pembakaran. Prinsip pemadaman di masyarakat ditunjukkan adanya sistem kebersamaam menghadapi musim kemarau. Aktivitas pemadaman dilakukan dengan cara memadamkan api kecil dan pembakaran terkendali pada ladang,
Umumnya masyarakat Dayak yang hidup di sekitar hutan menganggap api sebenarnya dapat dicegah karena dapat diketahui secara dini. Api liar umumnya berasal dari kelalaian sebagian kecil masyarakat saat membuka ladang dengan membakar. Kebakaran terjadi akibat kelalaian yang saat pembakaran di kondisi cuaca sangat kering dan angin kencang sehingga muncul api loncat yang dapat menjadi api liar baru di sekitar hutan. Berikut Bagaimana teknik mencdegah kebakaran pada saat membuka lahan dengan cara dibakar:
= Titik api
Membuka lahan dengan menggunakan titik api yang disebar melingkar, sehingga apinya tidak tersebar membakar lokasi lainnya, jadi buka dibakar diujungnya, hal inilah yang dapat membuat api merambat kemana – mana dan mengakibatkan kebakaran hutan.
B. Pengaturan Peruntukan dan pemanfaatan lahan
Belajar dari Dayak Ngaju
Pukung Pahewan adalah kawasan tanah adat dayak ngaju yang dikelola secara turun temurun serta diwariskan kepada anak cucu sehingga kawasan tersebut dikembangkan atau dilestarikan menjadi hutan lindung yang dianggap tempat leluhur serta dikeramatkan sebagai tempat orang halus (nyaring dan jin), siapapun tidak boleh menjamah tempat ini, tanpa permisi dan seijin dengan penghuni kawasan hutan tersebut. Kawasan hutan adat dayak ngaju ini juga dijadikan sebagai tempat ritual adat secara khusus.
Sahepan merupakan kawasan tanah adat dayak ngaju dikelola dan dikembangkan menjadi hutan produksi tempat masyarakat setempat berburu. Di dalam kawasan hutan tersebut banyak binatang buruan yang boleh diburu ataupun dimanfaatkan dan sumber daya alam dari kawasan tersebut seperti kayu, gemor, getah pantung, rotan, obat-obatan tradisional dan lain-lain.
Kaleka adalah kawasan tanah adat yang bersejarah yang juga pernah dikelola secara kearifan lokal oleh nenek moyang pada jaman dulu dan dijadikan tempat mendokoh (tempat pemukiman kecil), tempat berladang, dan juga ada peninggalan berupa kuburan, sanding dan tanaman keras, karena terlalu lama ditinggal sehingga ditumbuhi semak belukar dan sewaktu-waktu kaleka dapat kembali dijadikan sebagai tempat berladang.
Tajahan merupakan kawasan tanah adat mencakup beberapa nama yang jauh dari DAS (sungai) besar. Akan tetapi dibagian ujung anak sungai kecil wilayah tersebut banyak beje (sejenis kolam), baruh/loto (kolam alami) dan sekelilingnya ditumbuhi kayu yang besar dan tempat ikan berkembang biak. Masyarakat setempat dapat memanfaatkan kawasan tersebut pada musim kemarau dengan menggunakan alat tradisional berupa tangguk, siap(penjaring) dan lain-lain untuk menangkap ikan.
Bahu adalah kawasan tanah adat dayak ngaju yang setiap tahunnya dikelola atau digarap serta digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagai sandang pangan. Sifat kawasan tersebut lebih ke kawasan perluasan lahan pertanian padi gunung, sayur mayur dan palawija.
B.1 Pengaturan Peruntukan Tanah :
Petak Katam adalah tanah adat dayak ngaju berwarna kuning muda yang berada dipinggir sungai, kemungkinan bisa dibangun untuk permukiman masyarakat atau bisa juga dijadikan sebagai perkebunan karet, cempedak, durian, ramunia dan lain-lain.
Petak Pamatang adalah tanah adat dayak ngaju sejenis tanah mineral (padat) yang bisa digunakan untuk perladangan, tanaman rotan, karet, buah-buahan dan lain-lain.
Tanah Sahep adalah tempat masyarakat adat berusaha mencari nafkah sehari-hari untuk kebutuhan rumah tangga. Tanah Sahep ini terdiri dari dua jenis, yang pertama adalah tanah gambut tipis antara 50 cm – 1,5 cm, tanah ini masih bisa dijadikan tempat pertanian padi gunung, sayur mayur, palawija dan juga bisa dijadikan tempat perkebunan karet, rotan dan lain-lain dan tanah sahep yang kedua adalah tanah gambut dalam di atas dari 2 meter -16 meter, tanah gambut dalam ini tidak bisa dimanfaatkan sebagai tempat perkebunan karet atau pertanian, kawasan ini hanya bisa dikembangkan tanaman hutan untuk industri, jelutung, rotan, gemur dan jenis-jenis kayu yamg cocok hidup dan yang dianggap bermanfaat untuk kehidupan masyarakat adat. Di daerah gambut dalam ini juga sering terendam air akan tetapi rendamannya tidak terlalu lama.
Tanah Luwau adalah sejenis tanah yang bergambut dalam sering terendam lama oleh air dan bisa mencapai setengah tahun terkecuali baru terlihat tanahnya apa bila musim kemarau panjang yang mencapai 3 bulan-4 bulan lamanya. Di tanah luwau ini banyak danau-danau besar atau pun kecil dengan kedalaman 10 meter-20 meter di sinilah temat ikan-ikan besar berkembang biak dan selain itu banyak juga buaya, ular bermacam-macam jenis, kura-kura, biyuku ,bidawang, kodok besar dan lain. Tanah luwau ini juga ditumbuhi kayu yang besar dan bagian bawah ditumbuhi rerumputan atau akar-akaran juga sering terdapat pohon gemur. Wilayah tanah luwau ini tidak bisa dijadikan tempat berkebun dan berladang, hanya yang bisa untuk dijaga serta di lestarikan dan kawasan ini sebagai tempat masyarakat adat dayak ngaju berusaha mancari ikan, mencari gemur, kayu untuk bahan bangunan rumah serta obat-obatan tradisional dan sebagainya nya. Tanah luwau sangat berguna sekali karena bisa digunakan sebagai pupuk organik.
Konsep tata kelola tersebut telah dijalankan selama bertahun-tahun oleh Masyarakat Adat Dayak Ngaju, hal itu telah berhasil menjaga kelestarian gambut sekaligus telah menyumbangkan perekonomian bagi warga setempat dan daerah.
Masyarakat Adat Dayak Ngaju Desa Mantangai Hulu rata-rata memiliki kebun karet per kepala keluarga. Selama musim kemarau, masyarakat bisa menutupi kebutuhan hidup dari hasil penjualan getah karet. Namun ketika musim hujan tiba, getah karet mereka tidak bisa disadap. Kalaupun dipaksa, hasilnya tidak maksimal bahkan batang karet terancam mati.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup dimusim hujan, sebagian menanam padi ladang gunung jenis geragai, sambil menunggu padi dipanen, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat mencari rotan di hutan, mencari kulit gemur, serta menangkap ikan di sungai kecil/besar, danau, baruh/loto (kolam Alami) dan beje.
Melihat cara bertahan hidup masyarakat yang bergantung kepada alam dan musim, bahwa Masyarakat Adat Dayak Ngaju di Desa Mantangai Hulu atau di wilayah gambut tidak bisa di pisahkan antara kehidupannya dengan lahan gambut dan hutan karena untuk mencapai kesejahteraan ekonomi maka Masyarakat Adat Dayak Ngaju mengandalkan hasil kekayaan alam dari lahan gambut dan hutan serta kebun karet dan ladang padi (budidaya pertanian).
Untuk mencapai taraf sejahtera, mereka perlu porsi lebih dan leluasa dalam mengakses hutan disekitarnya. Sebab demi memenuhi kebutuhan hidup, mereka memerlukan daya jelajah luas untuk mendapat rotan, gemor, ikan dan kayu. Kemudian hal itu disebut Daya Jelajah atau sebagai wilayah kelola Masyarakat Adat Dayak Ngaju. Daya jelajah berbeda dengan lahan yang dikelola sehari-hari seperti karet dan padi. Daya jelajah diartikan oleh penduduk setempat sebagai tempat berusaha bersama.
Pergantian musim merupakan siklus alam yang tak bisa disangkal. Konsekuensi dari pergantian musim itu mau tidak mau harus dihadapi oleh Masyarakat Adat Dayak Ngaju yang bermukim di wilayah Gambut seperti Desa Mantangai Hulu. Kondisi terkini, berbagai proyek yang mengatasnamakan kepentingan daerah, nasional bahkan internasional telah membatasi daya jelajah masyarakat. Padahal, luas daya jelajah tersebut sangat berpengaruh kepada mata pencaharian masyarakat, seiring dengan masih bergantungnya kehidupan masyarakat kepada keadaan musim dan kondisi hutan. Lebih jelasnya, pola mata pencaharian Masyarakat Adat Dayak Ngaju banyak tertuju ke arah lahan Gambut dan hutan sangat berbeda dengan pola mata pencaharian masyarakat yang bermukin ditanah mineral.
Namun beberapa pihak, termasuk pemerintah, tidak memahami kondisi tersebut. Sehingga berbagai proyek pembangunan seperti PLG, Perkebunan Sawit, Konservasi, dan REDD didatangkan dari luar tanpa memperhatikan atau berkonsultasi dengan masyarakat setempat yang sudah hidup bertahun-tahun lamanya. Akhirnya, proyek yang tadinya bertujuan untuk mensejahterakan rakyat, akan tetapi menjadi proyek pemiskinan yang dilakukan secara terus menerus karena betul-betul tidak menyentuh kepada Masyarakat.
C. Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Lokal
Alam merupakan “titipan atau pinjaman”dari Tuhan (Lewu Injam Tingang) yang hanya bersifat sementara. Oleh karenanya, manusia hanya mengusai alam dengan arif dan bijaksana. Mereka tidak memiliki kekuasaan terhadap alam, sebab alam telah diciptakan dan diatur tatanannya oleh Tuhan (Ranying Mahatala Langit). Karena alam berupa “titipan atau pinjaman”, maka manusia hanya memanfaatkan alam seperlunya saja untuk kepentingan mempertahankan hidup. Hal ini tercermin dalam perilaku masyarakat Dayak di dalam menjaga agar komponen di dalam alam dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan. Hutan, misalnya, merupakan komponen penting bagi kelangsungan hidup mereka. Di dalam memanfaatkannya tidak dilakukan dengan sembarangan dan membabi buta.
Kayu dianggap secara filosofis memiliki 'roh', karena daripadanya masyarakat Dayak memperoleh manfaat bagi kehidupan. Penyucian hubungan tersebut dimaknai sebagai bagian dari upaya menjaga harmonisasi hubungan manusia dengan alam yang berimplikasi kepada keseimbangan kosmis secara menyeluruh. Mereka percaya bahwa tidak semua satwa dapat dibunuh dan dijadikan makanan. Ada beberapa jenis satwa yang dilindungi, di antaranya burung tingang atau enggang dan elang, misalnya. Burung enggang merupakan simbol penguasa Alam Atas, sedangkan burung elang dianggap sebagai burung “pemberi tanda” atau “petunjuk” (dahiang) (bdk.Riwut, 2003).
Perlakuan terhadap alam seperti halnya perlakuan kepada sesama manusia. Apa yang diberikan oleh alam merupakan karunia Tuhan yang harus dijaga keberlangsungannya. Oleh karena itu, perlakuan yang baik dalam mengusahakan alam bagi kepentingan hidup manusia akan memberikan dampak yang baik bagi kehidupan manusia. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dapat berjalan seiring dengan kemajuan pembangunan dengan berbasis pengetahuan lokal tentang pertanian, peternakan, dan perkebunan, serta pengelolaan hutan konservasi. Penggalakan usaha mikro, seperti pemeliharaan ikan dalam kolam yang disebut beje, pengelolaan danau adat bagi nelayan tradisional, dan lain-lain, merupakan kearifan dan pengetahuan lokal yang akan terus dikembangkan. Budidaya padi dan palawija serta sayur-mayur hutan, buah-buahan hutan, dan lain-lain, termasuk tanaman hutan bagi pengobatan dan kesehatan. Pada bidang perikanan, misalnya terdapat berbagai teknologi lokal yang ramah lingkungan, seperti alat tangkapan ikan tradisional, kegiatan manuwe (menuba) ikan dari getah pohon alami dan tidak berbahaya bagi kesehatan.
Beberapa alat tangkapan tradisional lainnya, seperti jerat, dondang (sejenis tombak pelontar), rangkep (perangkap), dan lain-lain, tidak bertujuan untuk mengakibatkan terjadinya kepunahan. Semua aktivitas pengusahaan alam dan hutan didasarkan pada pemahaman pemikiran yang telah dibuktikan berabad lamanya demi kepentingan generasi setelahnya.
C.1 Larangan menebang Pohon Banggeris
Berbagai sumber kebutuhan sehari-hari hampir sepenuhnya diperolah dari hasil hutan, seperti sumber makanan (buah-buahan durian – Durio sp., daging buruan dari babi liar - Sus scrofa atau payau – Cervus unicolor), kebudayaan (bulu ekor Enggang – Bucheros vigil digunakan sebagai hiasan topi tetua adat dan alat tarian wanita), pengobatan tradisional (Coptosapelta flavescens sebagai anti hepatitis), bahan kontruksi (kayu ulin – Eusideroxylon zwageri, jenis-jenis meranti – Shorea spp.), bahan bakar (kayu bakar dari Vitex pinnata, Hosfieldia grandis), dan berbagai kebutuhan lainnya. Pentingnya hutan menyebabkan pelestarian hutan adalah hal yang mutlak bagi mereka dan menciptakan berbagai kearifan lokal salah satunya adalah pelarangan penebangan pohon Banggeris (Koompassia sp.)
Pohon Banggeris di tengah hutan hujan tropis Kalimantan
Banggeris (Koompassia sp.) yang termasuk dalam keluarga tumbuhan Fabaceae ini merupakan salah satu jenis pohon tertinggi di hutan hujan tropis (dapat mencapai tinggi lebih dari 80 m) dan menjadikan spesies ini termasuk dalam Emergent Spesies. Pohon ini memiliki morfologi batang yang indah. Banggeris memiliki kualitas kayu keras yang baik dan bernilai ekonomi yang cukup tinggi. Meskipun demikian, penebangan pohon ini sangat dilarang oleh sebagian besar masyarakat adat dayak dan dianggap tabu.
Banggeris yang dapat tumbuh sangat tinggi dan batang pohonnya yang keras menjadikan pohon ini sebagai habitat yang cocok bagi sarang lebah madu yang ada di pulau Kalimantan, khususnya dari spesies Apis dorsata binghami.Lokasi sarang lebah madu yang tinggi dimaksudkan agar sarang aman dari ancaman predator seperi Beruang Madu (Helarctos malayanus). Lebah madu Apis dorsata binghami sendiri merupakan spesies lebah madu yang luas persebarannya meliputi Kalimantan (Indonesia), Serawak dan Sabah (Malaysia). Madu yang dihasilkan memiliki kualitas gizi yang sangat baik, komposisinya diantaranya berbagai jenis gula dan mineral seperti potasium, zat besi, kalsium dan magnesium.
Madu oleh masyarakat adat Dayak dianggap sebagai kebutuhan yang tak tergantikan. Selain digunakan oleh mereka sendiri, madu ini juga dijual dengan harga yang menggiurkan. Tingginya nilai madu ini memicu beberapa masyarakat adat dayak mengakusisi suatu pohon Banggeris sebagai kepemilikannya. Hal ini dilakukan agar madunya tidak diambil oleh orang lain. Pengambilan madu tanpa izin atau bahkan melakukan penebangan akan dapat dikenai hukum adat yang cukup berat, dapat berupa denda atau bentuk hukuman lain tergantung dari hukum yang berlaku di tiap sukunya. Kualitas madu yang baik bagi kesehatan dan nilai jual yang sangat menggiurkan inilah yang dianggap sebagai salah satu alasan mengapa pohon Banggeris ini sangat terlarang untuk ditebang. Saking terlarangnya, perusahaan logging,mining maupun perkebunan yang ada disekitar lingkungan masyarakat dayak juga harus mengikuti aturan ini.
Tantangan Kearifan Lokal di Era Global
Think Globaly Act Localy, Istilah yang cukup tepat untuk bertahan dalam era yang serba materealistik. Termasuk kedua suku diatas, antara Baduy dalam dengan suku Dayak Kalimatan. Kearifan lokal dilawankan dengan Modernisasi, meskipun kearifan lokal yang sudah diturunkan berabad – abad ke anak cucu tidak dipungkiri mengalami pergeseran – pergeseran. Arus modernisasi membawa mereka lebih konsumtif dan lebih tergantung pada nilai tukar uang yang di jaman nenek moyang tidak mereka kenal.
Globalisasi dan akses informasi yang tak terbatas melalui HP, internet atau saluran TV dan radio membawa kedua suku ini pada dunia yang baru. Dunia yang lebih mudah, lebih membahagiakan dengan cara – cara hedonis dan pragmatis. Kemudahan – kemudahan yang instan dalam mencapai kebahagiaan sementara. Kita akan temui di Kalimantan akan banyak terjadi gesekan – gesekan kebijakan yang tidak memperdulikan kearifan lokal. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian diatas. Kebijakan yang diambil tidak Bottom up, menyaring aspirasi bersama kearifan lokal yang sudah bertahan berabad tahun. Daya jelajah dan rotasi ladang berpindah suku dayak aksesnya terbatas dengan HTI, Tambang Batubara, Tambang minyak dan Gas Alam dan perkebunan Kelapa Sawit. Belum lagi dampak yang diakibatkan dari eksplorasi kapital diatas, misalkan kerusakan hutan, punahnya hewan yang biasa mereka buru untuk bahan makan, hilangnya tanaman obat, keringnya mata air, kebakaran hutan yang tidak terkendali, longsor, bahkan banjir tidak hanya terjadi di kota yang di muara dekat laut, wilayah hulupun banjir sudah biasa datang.
Suku Baduy dalam lebih mempertahankan tradisinya, karena di Jawa wilayah sudah sangat padat, mereka lebih ke budaya bercocok tanam dan tinggal di kampong mereka, jikapun ada peraturan yang melanggar mereka cukup keluar dengan tinggal bersama suku Baduy luar. Mempertahankan tradisi meskipun komprominya dengan merasa menjadi suku Baduy luar. Ditambah dengan kepentingan Pemerintah yang menjadikan Cagar Budaya untuk suku Baduy ini menyebabkan penyokong kehidupan meluas ke wilayah pariwisata. Mereka bisa menerima tamu, membuat cindera mata tanpa menghilangkan kearifan yang sudah bertahan berabad lamanya.
Tetapi Bagaimana dengan suku dayak yang sangat tergantung pada alam dan hutan? Kearifan – kearifan lokal yang mulai terkikis dengan budaya konsumtif, memperkenalkan mereka pada keserakahan akhirnya menjadi bagian konflik tersendiri, khususnya dikawasan – kawasan konservasi dan hutan lindung. Enclave atau perambahan tidak dapat dihindari di setiap kawasan konservasi. Karena kawasan – kawasan milik Negara inilah yang masih relative dapat dikendalikan dari sawit atau batubara. Tantangannya adalah bagaimana mengelola konflik ini, memperlakukan masyarakat adat atau suku dayak dengan kearifan lokal yang dimilikinya sebagai bagian dari pengambilan kebijakan. Pendampingan dan penyuluhan – penyuluhan menjadi alat komunikasi yang seharusnya efektif untuk mengurangi atau mencegah kerusakan – kerusakan kawasan konservasi. Toh kearifan lokal suku dayak sampai suku baduy, adanya kawasan konservasi serta industrialisasi pertambangan dan perkebunan akibat modernisasi semua berkepentingan untuk kesejahteraan manusia. Menjadi PR kesejahteraan ini hanya untuk generasi sekarang atau berpikir untuk anak cucu mendatang. Bukankah alam sudah mengajarkan dimana ada keselarasan keseimbangan dengan alam dan hutan aka nada keberlangsungan dan keberlanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
Andi M. Akhmar dan Syarifuddin, 2007. Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan
PPLH Regional Sulawesi, Maluku dan Papua, Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI
dan Masagena Press, Makasar
Bakti Setiawan, 2006. Pembangunan Berkelanjutan dan Kearifan Lingkungan. Dari Ide Ke
Gerakan, PPLH Regional Jawa, Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI, Yogyakarta
Brennan, Andrew. Lo. Yeuk-See, 2002. Environmental Ethics, The Stanford Encyclopedia of
Phylosophy. Edward N Zalta (ed.), URL
Francis Wahono, 2005. Pangan, Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati, Penerbit
http://www.ugm.ac.id/id/post/page?id=5125
http://berita.borneoclimate.info/2013/01/17/konsep-pengelolaan-sda-masyarakat-adat-dayak-ngaju-dengan-menggunakan-kearifan-lokal/
http://jogjanews.com/kearifan-lokal-dayak-dalam-pengelolaan-sda-dan kewirausahaan-sosial2012/12/05/banggeris-bentuk-nyata-kearifan-lokal-masyarakat-dayak-dalam-pelestarian-hutan/#sthash.Wpvv8OIr.dpuf
http://hulumahakam.wordpress.com/2012/12/05/banggeris-bentuk-nyata-kearifan-lokal-masyarakat-dayak-dalam-pelestarian-hutan/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar