Like this ?
Senin, 02 Maret 2015
“Mengurai Benang Kusut Pendidikan kita : dari Kurikulum ‘13 ke Politik Anggaran ”
Buku anak – anak belum datang, kabarnya perusahaan yang nyetak tidak dapat untung, jangankan untuk distribusi seluruh Indonesia ongkos produksi nyetak saja tidak nutup. Akhirnya buku – buku belajar di kurikulum baru boleh di fotocopy per-bab ambil dari BOS tapi tidak boleh lebih dari 6%. Dengan Otonomi daerah, nantinya buku siswa bisa dianggarkan dari APBD masing – masing, tapi jika APBD anggarannya sudah diketok palu, tinggal nunggu anggaran perubahannya yang diemplementasikan tahun depan. Tidak mungkin anak – anak setahun menunggu buku dengan ‘kurikulum 13’ yang ditetapkan pemerintah sendiri tahun depan, karena sepertinya pemerintah ‘ memaksa’ harus diterapkan sekarang. Orang tua yang tidak sabar biasanya ngeprint sendiri atau beli dari percetakan yang mau ambil resiko untuk mencetak.
Dalam sebuah rapat para guru, ada semacam pesimisme penerapannya : ‘ Ya minimal Guru itu tetap menerangkan, tetap menjelaskan, memberi tahu, jangan dengan alasan penerapan kurikulum 2013 gurunya diam saja dan terkesan tidak mengajar sebagai fungsinya sebagai pendidik. Satu sisi masih banyak guru yang memberikan resume ( inti materi) yang mematikan nalar dan logika siswa karena berharap ketika diujikan ke siswa, resume yang akan diubah menjadi kalimat tanya dapat dikerjakan dengan siswa sebaik – baiknya. Target ketuntasan minimal akan semakin mudah, bukankah ini KTSP 2006. Masih banyak para Ibu dan Bapak guru yang gagap memaknai kurikulum 2013, yang katanya pendekatannya saintific, siswa menemukan sendiri ( = inquiry ), siswa sebagai subyek dan sumber pembelajaran dan untuk pendidikan dasar menyasarnya adalah sikap dan karakter yang terbangun.
Agak rancu ketika etika, moralitas ini dikuantitaskan dengan angka. Bukankah yang menjadi kunci adalah Gurunya. Mampu tidak mem’proses’kan setiap pembelajaran ke arah nilai sikap, moralitas atau etika. Apakah dengan jumlah jam bahasa Indonesia yang ditambah dengan bacaan cerita heroik dan nasionalismenya mampu mengubah sikap dan karakter peserta didik. Atau memang peran penambahan jam Agama, PKn dan ekskul wajib PRAMUKA memenuhi standar sikap yang diinginkan? Nampaknya Wacana Revolusi Mental yang diideologisasikan tim JOKOWI-JK melalui pendidikan sepertinya lebih serius dan detail lagi untuk dapat diterapkan.
Pada kenyataannya dalam sebuah artikel pendidikan yang termuat dikompasiana (http://edukasi.kompasiana.com/2013/05/03/kualitas-pendidikan-indonesia-refleksi-2-mei-552591.html , UNESCO pada tahun 2012 melaporkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-64 dari 120 berdasarkan penilaian Education Development Index (EDI) atau Indeks Pembangunan Pendidikan, dengan empat kategori penilaian, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan gender, angka bertahan siswa hingga kelas V Sekolah Dasar. (UNESCO : 2012).
Sementara itu The United Nations Development Programme ( UNDP ) tahun 2011 juga telah melaporkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM ) atau Human Development Index (HDI) Indonesia mengalami penurunan dari peringkat 108 pada 2010 menjadi peringkat 124 pada tahun 2012 dari 180 negara. Dan pada 14 Maret 2013 dilaporkan naik tiga peringkat menjadi urutan ke-121 dari 185 negara. Aspeknya meliputi tenaga kerja, kesehatan, dan pendidikan. Dilihat dari kasaran peringkatnya, memang menunjukkan kenaikan, tetapi jika dilihat dari jumlah negara partisipan, hasilnya tetap saja Indonesia tidak naik peringkat.
Artikel lain pada website BBC 2012, Sistem Pendidikan Indonesia Menempati Peringkat Terendah di Dunia, diberitakan bahwa menurut tabel Liga Global yang diterbitkan oleh Firma Pendidikan Pearson. Ranking ini memadukan hasil tes internasional dan data seperti tingkat kelulusan antara 2006 dan 2010. Indonesia berada di posisi terbawah bersama Meksiko dan Brasil. Dua kekuatan utama pendidikan, yaitu Finlandia dan Korea Selatan, diikuti kemudian oleh tiga negara di Asia, yaitu Hong Kong, Jepang dan Singapura. (http://www.bbc.co.uk/indonesia/majalah/2012/11/121127_education_ranks.shtml).
Lantas kira – kira apa yang menyebabkan? Kita mulai dari guru. Guru tidak hanya membutuhkan sekali dua kali pelatihan untuk dapat merubah mindset bagaimana cara mendidik. Guru yang ada sekarang adalah produk IKIP atau PT, PTN yang mendapatkan kurikulum, mencontoh cara mendidik dengan cara – cara seperti dosennya dulu, seperti guru – gurunya yang dulu. Bagaimana mungkin menerapkan kurikulum dengan paradigma baru sedangkan proses pelatihannya saja hanya sekedar memenuhi standar administrasi untuk menyerap anggaran. Pemerintah nampaknya belum secara matang dan agak terburu – buru menyiapkan konsep pelatihan sampai dengan indikator keberhasilannya. Masih carut marut tidak sinergis dari guru sebagai software utama sampai buku – buku dan fasilitas lainnya.
Disisi lain dalam sebuah diskusi terbuka di media TV, Prof. Dr. H. Sunaryo Kartadinata, Rektor UPI mengatakan nada pesimisnya refleksi pendidikan kita bahwa semakin banyak lulusan Perguruan Tinggi semakin banyak pengangguran terdidik. Obat manjur kurikulum baru nampaknya belum menjadi formula yang cukup manjur untuk mengikis kebenaran fakta ini. Wacana pemisahan kementrian antara DIKDAS ( PAUD , SD, SMP, SMA ) dan DIKTI ( PT ), akankah membawa perubahan. Pemisahan ruang garap antara penanaman budaya dan karakter lewat DIKDAS sedangkan risetnya lewat DIKTI.
Kebijakan pendidikan terkait erat dengan kualitas keperpihakan anggaran. Dengan Anggaran 20% yang sudah ditetapkan dalam UUD besarannnya sekitar 368 terbagi 40% dipusat, 60 % didaerah. Anggaran anggap sekitar 1700 T, 368 T dan hampir 1/3 nya terserap digaji guru termasuk sertifikasi dan tunjangan – tunjangan yang lainnya. Sertifikasi dan gaji tidak salah dan dari dulu semestinya diberikan hak tersebut. Yang kurang tepat masuk 20% nya yang harusnya siswa benar – benar gratis tidak ada pungli disekolah, dari seragam, sepatu buku, bahan praktek, transport untuk fiedtrip praktek lapangan, bahkan gedung yang layak dan akses jalan dan jembatan seharusnya ke PU bukan dari 20% anggaran pendidikan. Ada perataan hak baik swasta atau negeri artinya tidak dibeda – bedakan. Gaji guru dan sertifikasi masuk pada anggaran sipil misal dalam kemendagri. 20% bahkan bila perlu ditambah akan sangat berarti karena investasi SDM dipendidikan tidak akan pernah habis seperti MIGAS, Batubara dan minerba lainnya. Dari 20% anggaran hanya sampai peserta didik 10% itupun termasuk untuk membangun gedung sekolah dan angka DO wajib belajar 9 tahun juga meningkat.
Anggaran terjebak pada indeks makro, dengan dimasukan gaji guru berkisar 100 T tanpa pengelolaan seperti seleksi jabatan dan politik anggaran, kepala sekolah – kepala sekolah atau pejabat berwenang terkait yang ditunjuk ikut menciptakan sistem alokasi anggaran menjadi tidak maksimal, apalagi seperti membenahi UU wajib belajar sampai dengan 12 tahun, infrastruktur, kualitas dan kuantitas, kurikulum, akses dan perlakuan didalamnya. Sertifikasi yang sudah ada tidak menjadi persoalan, yang perlu dikontrol adalah indikator kemajuan sistem pendidikan yang sudah berjalan, seringkali sertifikasi hanya terjebak pada syarat administrasi tanpa membenahi secara terus - menerus kualitas- kualitas guru bersertifikasi. Sistem berkelanjutan dalam pelatihan- pelatihan guru, sekarang terkesan guru memang sengaja dibiarkan. LPTK ( Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan ) sebagai lembaga yang bertanggungjawab kinerjanya menjadi proyek oriented, litbang belum berjalan dengan baik dan sepertinya lembaga ini perlu dibenahin. Termasuk didalamnya karier guru juga dibangun. Reward tidak harus berupa uang atau sertifikasi dan tunjangan semacamnya, reward bisa dibuat dengan memberikan program beasiswa untuk jenjang keilmuannya, sehingga dimana menemukan guru berkualitas pastilah muridnya juga berkualitas.
Selain anggaran, dengan UU otonomi daerah, kepala dinaslah yang berhak mutlak memindahkan kepala sekolah atau pejabat berwenang. Dampaknya anggaran terserap 60% didaerah jauh dari pengawasan. Keterjangkauan akses, sumbangan disekolah swasta miskin , BOS dan BOP yang efektifitas banyak ditemukan bocor ditengah jalan. Berbicara soal mutu atau kualitas guru, perlu terstruktur, masif dan sistematis pelatihan – pelatihan program untuk peningkatan kompetensi guru dalam mengajar, apapun kurikulumnya jika dibarengi dengan kualitas guru melalui indikator penilaian pra kinerja guru, penilaian kinerja guru dan pasca kinerja guru untuk sertifikasi maka proses ideal tujuan pendidikan nasional akan semakin dekat dengan sasaran. Peningkatan kualitas kinerja guru dalam peningkatan kompetensi dapat diukur sebanyak apa atau sekualitas apa konsep pelatihan -pelatihan yang diberikan.
Trend korupsi yang naik, bisa ditemukan objek korupsinya dari pendidikan dana DAK , misal rehabilitasi sekolah. Kemudian 100 T tunjangan profesi tersendak dikhas daerah. Masuk ke daerah dan hibernasi beberapa saat sehingga siapapun bisa mengambil keuntungan. Step by step dibenahi apa benar wajar ( wajib belajar ) sudah tuntas berkualitas selesei 9 tahun atau memang belum. Bagaimana untuk wajar 12 tahun? Politik Anggaran khusus 20 % atau bisa ditambah sebaiknya hanya untuk peningkatan DIKTI dan DIKDAS, didalamnya tidak termasuk gaji guru dan tunjangan lainnya. Memperbanyak pelatihan yang tentunya waktu yang diambil tidak mengorbankan jam belajar peserta didik. Evaluasi BOS dan BOP yang lebih tepat sasaran, perbaikan sistem rekruitmen kepsek atau keberanian untuk menghapus proyek UN yang secara idealisme sangat bertentangan dengan landasan filosofis perubahan kurikulum 2013.
Rofiah ( pendidik sekolah swasta )
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar