Sudah saatnya kita membalik opini kemasyarakat, bahwa tidak benar orang miskin dilarang sekolah, takut bersekolah hanya karena pendidikan mahal.Orang pinter bisa masuk UGM, tidak cukup hanya modal kaya, pinter tapi miskinpun juga bisa menikmati pendidikan tinggi di PT atau PTN. Kita masyarakat harus memiliki keberanian mental itu dulu, jangan takut dipermainkan opini kemlaratan kita untuk mengolah sumber daya manusia di negeri ini. Negeri ini lagi sakit, korupsi tidak satu – satunya penyebab komit pemerintah terhadap pendidikan yang terabaikan, neokapitalis sudah sistemik menggerogoti sumber daya manusia Indonesia. Kita seharusnya menyadari hal ini, semua menjadi gila, advokasipun digunakan lahan untuk mencari makan, ya mencari kehidupan dengan suara- suara pembelaan kaum mustadafin. dan proses transformasinya terkadang tidak mendidik. Lebih cenderung mengkerutkan keberanian masyarakat untuk memperjuangkan haknya dalam berpendidikan.
Coba bayangkan jika rakyat kita yang ngakunya miskin ini berani bertarung untuk tetap melanjutkan studinya, Coba bayangkan jika UGM atau PTN ini yang mendaftar atau yang diterima ternyata sedikit jumlah mereka yang kaya, banyakan menengah atau menengah kebawah. Pasti ceritanya menjadi lain, setelah beberapa kali saya amati ternyata jumlah mahasiswa yang masuk fak – fak atau PT cenderung menurun. Alasan utama adalah uang. Ini sangat ironis, karena saat itu sudah bukti bahwa kita mengakui kalo kita dijajah, kita lemah, bahkan untuk berkehidupan dibangsa sendiri. Jadi akhirnya yang tidak pernah kekurangan saja yang dapat sekolah, bagaimana kemudian hari mereka dapat berbagi buat yang lain, lha wong merasakan kurang saja tidak pernah. Dalam hal ini saya ingin menyampaikan bahwa Orang miskin harus sekolah yang penting berani, dicoba dulu sebanyak – banyaknya kesempatan. Sejelek – jeleknya rakyat yang miskin masih juga dinegara sendiri, institusi sendiri. Kesempatan ini tidak terjadi diluar negeri yang sekarang harus mengalami debortase besar – besaran, karena mungkin dinegara mereka { baca; Malaysia }masih kekurangan rejeki dan kebahagiaan sehingga untuk berbagipun harus memukul, menyakiti dulu.
Kembali lagi kemasalah Pendidikan tinggi di Indonesia, jika jalur advokasi berdasarkan UUD 1945 bahwa pendidikan adalah tanggungjawab negara. Hal ini coba diterjemahkan lagi dengan akan mengusahakan ketingkat 20 % anggaran belanja, ketika kita cermati disini tidak ada kata – kata harus mencapai 20 %, sedangkan pergerakan kesana akan sangat berbentur dengan Anggaran belanja rutin, misalnya biaya pegawai, biaya tentara, pegawai – pegawai lain, sedangkan dari sekian persen anggaran jika anggaran pendidikan ini mengacu kesana pasti akan mengurangi anggaran – anggaran rutin tersebut, dan jika ini terjadi yang tahu birokrasi didalam akan semakin teriak – teriak, belum juga dikurangi sudah banyak yang korup, apalagi hal ini terjadi. Pasti akan semakin banyak mustadafin – mustadafin yang dikorbankan. Sedangkan maksud dari 20% ini hanya untuk pendidikan dasar dan menengah. Dan jika ini terjadi {20% anggaran} pasti sekolah dasar dan menengah ini gratis sehingga orang tua bisa menyimpan uang untuk masuk PT, tidak perlu lagi menggantungkan lagi dengan kontrak – kontrak kapital, akan memiliki tumpuan sendiri idealisme sendiri, dan tentunya menentukan nasibnya sendiri { merdeka }.
Mengerucut pada uji coba BHMN di UGM, sekarang informasi mengenai akuntanbilitas keuangan dapat diakses secara online oleh siapapun di PR II, berkembang isu, atau lebih tepatnya belum diketok palu SK-nya, bahwa uang sumbangan SPMA yang kenyataannya memberatkan ini digunakan untuk menggaji rektor 25 Jt, dekanat 15 Jt perbulan, serta entah berapa gaji MWA. jika kita cermati hal ini, sangat wajar sekali menurut aturan main jika institusi pendidikan ini sudah di BHMN, karena akan sama dengan BUMN- BUMN yang lain dan disini ada standar baku gaji setingkat esselon, tentunya dari menteri terkait. Terus mau gimana??? beberapa waktu lalu saya mendapat ide segar dan cukup menggerakkan. Pertanyaannya kemudian apakah kita hanya sampai pada protes-protes gaji rektor atau dekan dan MWA ini, saya kira sekarang sangat jarang ditemui dosen atau birokrat kampus yang menolak uang, meskipun masih banyak kemiskinan sistemik terjadi dinegara ini. Sehingga kemudian muncul opini bahkan sudah dilakukan bahwa dosen yang pinter ya harus pinter pula cari uang, serta tidak lupa kebertanggungjawabannya sebagai pendidik memberikan ruang – ruang pada mahasiswanya untuk berkreatif dan enterpeneur melakukan proyek – proyek penelitian sehingga mampu membiayai kuliahnya, opini ini berkembang sampai akhirnya muncul bahwa dosen yang nggak kreatif dalam hal ini mampu mengcreate tanggungjawabnya pada mahasiswa – mahasiswa yang tidak mampu membiayai kuliahnya akan segera dinonaktifkan. Jadi keadaan disini akan memaksa kita, dalam hal ini dosen, mahasiswa, masyarakat, swasta, bisa jadi negara untuk lebih konkrit mengatasi permasalahan pendidikan tinggi, tapi sejauh mana efektivitas menyentuhnya perlu kita evaluasi. Jangan – jangan konsep berbagi disini sama juga dengan ekonomi syariah yang digembar- gemborkan, tidak ada bunga tetapi ganti nama bagi hasil, akan sama saja menguntungkan satu pihak, menindas pihak yang lain. Kesadaran kolektif kebertanggungjawaban pendidik disini mungkin harus terus digali, sebuah langkah yang sangat reformis untuk berdiri dikaki sendiri.
Tapi meskipun hal itu terjadi, Pemerintah tidak boleh manja, kita tetap harus tetap memperbaiki kebobrokan sistemik kita, siapa lagi kalau nggak suara rakyat. Jadi UU yang mengatur hal ini sebagai peletak dasar perlu kita kaji ulang, kita harus mampu menafsirkan ketidaksesuain – ketidaksesuaian aturan main dilapangan. Disesuaikan lagi dengan teori, sehingga mampu membuat naskah akademik UU yang sudah diturunkan atau membuat UU lain yang mengatur tentang Perguruan Tinggi. Membangun opini publik, bahwa ada kesepahaman bersama, beberapa langkah untuk satu tujuan, seperti opini kekerasan rumahtangga yang sudah lama terjadi, tetapi baru kali ini ada UU RT yang memberikan perlindungan didalamnya.
Mungkin apa yang terjadi dinegara sekuler bahkan atheis perlu kita cermati. Disana agama tidak begitu mengatur tata kehidupan bernegara. Tetapi yang namanya mencuri {=korupsi} jelas hukumannya, Agama tidak dijadikan alat politik tapi mampu memasuki ruang – ruang ke – Rohmatanlilalaminnya. 90% mayoritas muslim di Indonesia sekarang, mungkin lebih baiknya tidak berkonflik masalah simbol dan kekuasaan. Serta tidak coba - coba mempermainkan nasib rakyat, jika tidak sanggup menghadapi status quo, bisa jadi perjuangan ekstraparlementer akan lebih banyak didengar, akan lebih mencerdaskan kepentingan politik masyarakat sehingga pada akhirnya nanti, rakyat semakin tahu kalo kepentingan atas hak – haknya belum sepenuhnya diakomodir oleh wakil-wakilnya yang mereka pilih.
Terakhir, saya mencoba mengkritik gerakan mahasiswa yang sudah lama mati suri. Film Nasional sudah bangkit, meskipun akan sangat banyak parameter mengenai kualitas kebangkitannya. Tetapi setidaknya sudah terlihat bangkit. Ini juga saya atas dasar organisasi saya dibesarkan { autokrtik }, bahwa gerakan mahasiswa adalah gerakan ansich, Agen Of Change yang tidak pernah mapan dalam kematiannya { bisa jadi}, Krisis multidimensi, kebebasan media tidak membuat kita lelah dan terjebak dalam pragmatisme oportunis, sudah saatnya kita bersama, jangan seperti parpol yang memperalat agama, kita adalah gerakan netral dengan satu kepentingan, Mungkin perlu diulangi atau dirumuskan bersama jenis siapa-siapa saja mustadafin yang dibela atau lebih mengkonkritkan siapa – siapa musuh penjelmaan kapitalisme yang kita lawan dan jelas menyusup sistemik pada dimensi kehidupan kita. Raksasa itu kita jinakkan dari berbagai sektor melalui ruang – ruang perkaderan dan perjuangan gerakan mahasiswa.
Yogyakarta,15 Desember 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar