Seperti yang kita tahu fenomena yang terjadi tentang kasus yang sangat menghentakkan . Seperti kasus hukum yang melibatkan persaksian ahli hukum tertentu pada kasus Bulog Gate Akbar Tandjung yang lampau. Disini seorang ahli hukum tertentu memberikan opininya yang membela yang sudah jelas-jelas salah. Bagaimana pula dengan lembaga ilmiah semacam Freedom Institute dan LPEM UI seolah-olah mewakili pemerintah untuk beradu argumen dengan rakyat yang mereka anggap tolol mengenai kenaikan BBM. Tampak sekali bahwa argumen yang mereka sampaikan tidak meyakinkan. Yang ditonjolkan hanya mantel kebesaran ilmiah untuk menyilaukan pandangan mata rakyat yang menderita. Apalagi ketika terungkap betapa palsunya argumen yang disampaikan di saat berhadap-hadapan dengan INDEF yang kebetulan mengambil metode yang sama. tentang kasus Buyat juga. Dengan pola yang sama, lembaga ilmiah tertentu mencoba menghapus jejak kesalahan fatal yang dilakukan oleh perusahaan Newmont yang telah memakan korban itu (lihat Rahman Dako, Ilmuwan Dukung Newmont: Langkah Bodoh? Kompas, 17 Mei 2005). Yang di atas itu baru secuil fakta dari sekian ribu fakta yang belum terungkap.
HMI MPO telah mewujud menjadi salah satu organisasi kaum terpelajar yang tetap bertahan secara swadaya dan mandiri sejak kelahirannya di tahun 1986 hingga hari ini. Kemandirian dan daya tahannya yang cukup kuat itu telah menjadikan dirinya sebagai salah satu organisasi kaum intelektual yang eksis.
Setting Sejarah Kemunculan HMI MPO
Pada mulanya HMI MPO hanyalah sebuah respon orang-orang HMI yang tidak mau tunduk kepada rezim Orde Baru yang hendak memaksakan kehendak politiknya. Politik rezim Orde Baru pada tahun 1985 menghendaki agar seluruh ormas dan orpol tunduk kepadanya dengan cara merubah asas organisasinya menjadi asas Pancasila. Meskipun tirani Orde Baru demikian kuat, namun ada sebagian organisasi yang tidak tunduk dengan politik penyeragaman asas tersebut. Di antara yang tidak tunduk itu terdapatlah HMI, PII, dan Gerakan Rakyat Marhaen. Kedua ormas yang disebut terakhir ini pada akhirnya juga tunduk dengan kebijakan rezim Orde Baru. HMI sendiri menjadi terpecah menjadi dua-HMI Dipo dan HMI MPO-akibat pemaksaan asas Pancasila tersebut. HMI MPO dengan cara bawah tanah berusaha bertahan dengan asas Islamnya, meskipun dibayang-bayangi oleh ancaman rezim dan cemoohan dari komunitas pergerakan Islam sendiri yang telah berhijrah ke asas Pancasila.
HMI MPO yang pada mulanya dibentuk untuk tujuan penyelamatan perahu HMI dari oportunisme elit PB HMI yang merubah asas secara sepihak, di kemudian hari mengalami pengentalan ideologis dan sosiologis. Pengentalan ideologis ke arah yang lebih bersifat islamis ditandai dengan berubahnya tafsir atas asas HMI dari semula Nilai Dasar Perjuangan (NDP) menjadi tafsir integral atas asas, tujuan, dan independensi atau yang dikenal dengan Khittah Perjuangan. Khittah Perjuangan baru dapat ditabalkan menjadi dokumen resmi HMI MPO pada tahun 1992. Artinya butuh waktu 5 tahun untuk dapat diterima oleh komunitas HMI MPO sebagai dokumen resminya yang kemudian disosialisasikan di setiap jenjang pelatihan seperti LK-1, LK-2 dan LK-3.
Setting Sejarah Telah Berubah
Tetapi sekarang keadaan telah berubah. E’tatisme rezim yang berkembang selama masa Orde Baru kini hanya tinggal kenangan saja. Sekarang fenomena yang sebaliknya terjadi adalah pengurangan (minimalisasi) peranan negara dalam setiap fungsinya. Desentralisasi dalam bentuk otonomi daerah juga menyumbang dalam proses pengurangan peranan negara yang selama ini sangat kuat. Ditambah lagi dengan berkembangnya praktik demokrasi liberal akhir-akhir ini menjadi sempurnalah pengurangan otoritas dan peranan negara itu. Negara tiba-tiba menjelma menjadi tampak lemah di hadapan otoritas-otoritas lain yang sekarang bertebaran di mana-mana.
Di antara otoritas yang paling berpengaruh dan menetukan tersebut terdapatlah otoritas komunitas bisnis atau kaum pemodal. Pelemahan peran negara dan menguatnya otoritas kaum pemodal ini merupakan kecenderungan umum global sejak naiknya Margaret Thatcher di Inggris dan Ronald Reagan di AS. Kedua pemimpin inilah yang dengan gigih mengekspor model negara minimalis ke seluruh dunia dengan bertopang pada paham neo liberalisme. Gagasan mereka seragam "peranan negara adalah untuk menggalakkan kontrak-kontrak, untuk memasok uang yang cukup … untuk menjamin bahwa kekuatan pasar tidak didistorsi". David Stockman, direktur anggaran Reagan mengatakan, "…visi suatu masyarakat yang baik bertumpu pada kekuatan dan potensi produktif dari manusia bebas dalam pasar bebas." (Noreena Hertz, 2003).
Kerangka Metode Gerakan Mahasiswa
Pengertian terhadap substansi pergerakan harus diikuti oleh pemahaman terhadap metode gerakan dalam tingkatan makro. Permasalahan yang sering muncul dalam kalangan gerakan adalah kuatnya keinginan untuk mendiskusikan dirinya sendiri terhadap perbedaan-perbedaan pandangan di antara mereka. Masalah yang sering mengemuka adalah pendefinisian kategori-kategori yang saling bertentangan yang mencakup beberapa hal sebagai berikut. Perbedaan pandangan pada tingkat kategorisasi gerakan mahasiswa, apakah gerakan tersebut harus merupakan gerakan moral ataukah gerakan politik. Pertanyaan tersebut selalu menjadi wacana yang tiada hentinya didiskusikan sepanjang zaman dan seringkali menjadi penghambat bagi konsolidasi gerakan sipil-demokratik.
Yang harus dipahami dalam perdebatan ini bukan mana yang harus diikuti gerakan moral atau gerakan politik, tetapi pengertian dan konteks yang tepat untuk mendefinisikan identitas gerakan dan menghubungkannya gerakan sosial yang lebih luas untuk kepentingan rakyat. Gerakan Moral pada umumnya didefinisikan sebagai gerakan yang ditujukan untuk memperjuangkan nilai-nilai moral dan berbasiskan pada intellectual power. Nilai-nilai tersebut paling tidak mencakup cita-cita untuk mewujudkan kebenaran, keadilan, kepentingan rakyat, penegakan HAM, demokratisasi, dan lain sebagainya. Pada sisi lain gerakan Politik lebih diartikan sebagai usaha-usaha yang difokuskan pada merebut atau mempertahankan kekuasaan politik baik pada tingkat lokal maupun nasional. Gerakan moral bersinggungan dengan gerakan politik ketika kekuasaan politik dimanfaatkan oleh rezim-rezim otoriter sehingga ada legitimasi rakyat untuk menjatuhkan kekuasaan tersebut.
Pendifinisian gerakan moral dan politik tidak menjadi relevan ketika gerakan politik pun mengklaim selalu didasarkan atas nilai-nilai dan cita-cita moral. Pendifinisian gerakan moral dan politik akan menjadi relevan ketika dihadapkan pada tingkatan ideologi gerakan apakah gerakan ditujukan untuk memperjuangkan nilai-nilai moral ataukah merebutkan kekuasaan semata. Namun demikian jika diletakkan dalam konteks praksis pendefinisian yang tepat dilihat berdasarkan kategorisasi basisnya apakah berbasis pada kekuatan politik (political power) ataukah kekuatan intelektual (intelctual power). Gerakan intelektual adalah manifestasi gerakan moral yang mendasarkan dirinya pada basis-basis intelektual dengan menggunakan pemberdayaan mahasiswa dan masyarakat sebagai orientasi gerakan. Intelectual power juga mensyaratkan adanya kapasitas intelektual dari kalangan gerakan yang cukup untuk meningkatkan daya tangkapnya terhadap persoalan-persoalan kerakyatan serta mampu mengartikulasikannya kepada institusi-institusi negara.
Political power bases movement pada dasarnya adalah gerakan-gerakan sosial yang lebih menjadikan dirinya sebagai kekuatan penekan dalam dialektika politik dan panggung kekuasaan politik. Gerakan mahasiswa yang menggunakan basisnya pada kekuatan politik akan selalu mengarahkan gerakannya untuk usaha-usaha memperebutkan atau mempertahankan kekuasaan politik. Gerakan ini memiliki salah satu ciri kas yang sangat kuat yaitu menggunakan isu-isu yang bersifat elitis dan terkait dengan masalah politik seperti pemilihan umum, kepemimpinan nasional, dan lain sebagainya. Gerakan ini akan memiliki sisi positif apabila diletakkan dalam kedudukan sebagai kekuatan oposisi ekstra-parlementer, namun demikian harus mampu melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Sisi negatif dari gerakan ini adalah menjadi agen dari usaha-usaha integrasi terhadap negara atau elit politik. Dalam beberapa kasus, political power bases student movement ditandai oleh kuatnya clientelism yang disebabkan ketidakmampuan organisasi gerakan memutus hubungan politik dengan alumninya. Dengan demikian gerakan ini tidak lebih menjadi onderbouw salah satu partai politik atau kepentingan elit politik daripasa sebagai sebuah organisasi gerakan sosial.
Sebaliknya intellectual power bases movement ditandai dengan kuatnya semangat independensi baik secara paradigmatik dan praksis politik. Secara pradigmatik, independensi didasarkan atas landasan ideologi organisasi yang jelas dan digunakan sebagai alat untuk membaca fakta-fakta sosial. Secara praksis, independen diartikan sebagai kemampuan untuk menentukan sikap yang relatif otonom ketika berhadapan dengan gerakan-gerakan yang lain ataupun para pendahulunya. Gerakan ini mendasarkan kekuatan organisasinya pada fungsi-fungsi intellectuality (kecendekiwanan) dan menggunakan kekuatan intelektual sebagai dasar untuk mengartikulasikan kepentingan-kepentingan gerakan. Independensi dan intellectuality merupakan karakteristik yang sangat kuat melekat dalam citra diri organisasi. Isu-isu yang diangkat tidak hanya isu-isu elitis tetapi juga isu-isu kerakyatan atau populis yang menjadi kebutuhan rakyat seperti kenaikan BBM, pengangguran, pendidikan, dan lain-lain sebagainya. Gerakan ini dapat berbentuk gerakan advokasi kebijakan ataupun gerakan rakyat (people centered movement). Kelemahan dari organisasi ini adalah pada kuatnya independensi yang pada tingkatan tertentu cenderung digunakan untuk menutup diri dari lingkungan gerakan di sekitarnya.
Perdebatan selanjutnya berada pada tingkatan metode gerakan yang diklasifikasikan sebagai civil society centered movement ataukah state centered movement. Gerakan mahasiswa akan menjadi bagian dari gerakan sosial yang lebih luas jika orientasi gerakannya lebih ditujukan untuk memperkuat keberadaan masyarakat sipil. Jia kita menggunakan pendekatan Gramsci dalam memandang civil society, maka gerakan mahasiswa harus menjadikan dirinya sebagai instrumen perlawanan terhadap dominasi dan hagemoni negara. Antonio Gramsci (1971:12) menjelaskan hal tersebut sebagai berikut:
Untuk kepentingan tersebut gerakan ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai sebuah gerakan sosial yaitu independen dari pengaruh kepentingan elit politik, berbasiskan pada pemberdayaan mahasiswa dan masyarakat, menggunakan intellectuality sebagai instrumen gerakan, dan menegakkan perspektif moral. Sebaliknya kategori yang kedua mengasumsikan bahwa gerakan mahasiswa akan efektif dalam memberikan kontribusinya kepada masyarakat jika dirinya menjadi bagian atau partner dari institusi-institusi ataupun kepentingan politik negara. Dengan mengintegrasikan dirinya dengan negara, maka peluang-peluang untuk mengadvokasi kebijakan menjadi lebih besar. Namun pada kenyataannya, negara lebih diuntungkan daripada gerakan karena neraca transaksi politik yang relatif tidak seimbang atau lebih kuat pada pihak negara.
Pada saat ini jumlah organisasi yang berdiri terus menerus pheriperal (pinggiran) kekuasaan politik sangatlah jarang. Untuk kasus HMI dapat dijadikan contoh yang jelas untuk menentukan posisi-posisi pada kategori di muka. Bila HMI (Dipo) berjalan dengan konsisten pada integration with ellitis bahkan berada pada pusat-pusat kekuasaan negara, maka HMI (MPO) berjalan dengan konsisten pula pada anti-state opposition. Baik HMI (MPO) maupun HMI (Dipo) belum secara efektif menggunakan intellectual power sebagai instrumen gerakan. Sebagai indikatornya adalah kontribusi-kontribusi pemikiran yang konstruktif dan cerdas terhadap proses pengambilan kebijakan negara dari HMI baik MPO maupun Dipo sangat lah minim, bahkan hampir tidak ada.
Posisi di pusat-pusat kekuasaan akan memudahkan organisasi gerakan memiliki akses yang sangat besar untuk masuk ke dalam jajaran elit politik atau melakukan mobilitas vertikal. Namun demikikan, organisasi gerakan seperti ini tidak memiliki roh atau substansi gerakan perlawanan sebagai manifest dari gerakan rakyat atau gerakan sosial yang diterangkan oleh Gramsci. Gerakan integrasi dengan kekuasaan akan hancur secara pelan-pelan bersamaan dengan hancurnya kekuasaan yang menopang organisasi gerakan. Ketiadaan independensi organisasi akan menjadikan organisasi menjadi alat bagi kepentingan elit politik yang didukungnya dan bahkan pada tingkatan tertentu dapat mejadi instrumen kekuasaan negara untuk menjaga kepentingan-kepenitngan kekuasaan yang menindas. Gerakan seperti ini bukan jawaban dari kebutuhan masyarakat yang terpinggirkan oleh negara tetapi justru menjadi legitimasi dari kekuasaan negara yang represif dan hagemonik. Semakin lama organisasi seperti ini akan mendapatkan perlawanan dari dalam sendiri karena membatasi kreativitas politik anggota-anggotanya.
Pada sisi lain, gerakan yang berbasis di masyarakat sipil akan menjadi jawaban dari kebutuhan masyarakat jika benar-benar mampu menjadikan dirinya sebagai people movement atau gerakan rakyat. Gerakan ini diharapkan mampu memberikan kepeloporan baik pada tingkat isu maupun pada tingkat gerakan. Organisasi ini akan berjalan efektif jika mampu menggabungkan kerja-kerja perlawanan terhadap kebijakan negara di tingkat akar rumput dengan kerja-kerja negosiasi dan diplomasi sebagai alat untuk menekan kekuasaan negara. Sebaliknya gerakan ini tidak akan efektif jika hanya bersandar pada political power saja yang didominasi oleh kerja-kerja perlawanan semata tanpa didukung oleh kerja-kerja negosiasi untuk mengartikulasikan kepentingan rakyat kepada negara. HMI MPO selama ini hanya berkutat pada kerja-kerja perlawanan semata tanpa diikuti oleh kerja-kerja diplomasi untuk menekan pemerintah. Namun demikian mempertahankan HMI MPO pada posisi periferal kekuasaan atau terus-menerus pada kerja-kerja perlawanan sebagai substansi gerakan adalah keunggulan HMI MPO dibanding dengan organisasi-organisasi yang lain. Namun demikian, untuk ke depan HMI-MPO juga harus mengembangkan metode-metode gerakannya agar tidak monoton dan tidak elitis sebagai civil society centered movement.
Kerangka teori dan positioning gerakan seperti telah dijelaskan di muka akan membantu melihat anatomi gerakan bagi HMI-MPO. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa HMI MPO telah konsisten berdiri menjadi gerakan yang berbasis pada masyarakat sipil dan telah menggunakan political powernya untuk menolak penerapan asas tunggal pada periode 1986-1998. Tantangan selanjutnya bagi HMI-MPO adalah bagaimana merumuskan gerakannya agar dapat tumbuh menjadi people movement yang kuat dan mendasarkan dirinya pada intellectual power. Sebagai konsekuensinya HMI-MPO dituntut untuk memiliki platform yang jelas sebagai organisasi perlawanan masyarakat sipil di samping sebagai organsiasi perkaderan. Selama ini, revolusi sistemik menjadi salah platform utama organisasi dan menjadi arahan bagi semua kader HMI-MPO, namun demikian tidak ada definisi-definisi yang disepakati secara detail atau derivasi-derivasi program-program politik yang jelas dari revolusi sistemik. Selain itu, HMI-MPO memerlukan instrumen yang jelas untuk melaksanakan platform dan program-program politik tersebut. Berikut ini, akan dijelaskan hubungan antara platform dan instrumen yang perlu dibangun sebagai panduan perjalanan organisasi pada masa depan.
Platform Gerakan: Revolusi Sistemik
Wacana revolusi sistemik telah menjadi platform politik perjuangan HMI-MPO. Menurut Al Mandary (2003:153), HMI telah melakukan sejumlah diskusi dengan perpektif revolusi sistemik. Hal diterjemahkan dalam konteks keindonesiaan sebagai berikut. Pertama, penataan bangunan masyarakat sipil berpandangan dunia “perlawanan dan pembebasan” yang islami atau agamis, mandiri, dan solid. Kedua, diperlukan suatu kepemimpinan informal yang karismatik sehingga ditaati untuk memberi pendidikan politik rakyat berdasarkan prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, kebersamaan, toleransi, dan penghargaan atas perbedaan. Ketiga, perlunya rumusan konstitusi alternatif untuk menggantikan konstitusi pro-penguasa zalim dan menjamin perbaikan sistem politik, ekonomi, hukum, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan keamanan.
Revolusi sistemik sebagai sebuah platform perjuangan pada dasarnya adalah sebuah metode perjuangan revolusioner yang menghendaki perubahan di tingkatan supra-struktur dan sturktur. Perubahan pada tingkat suprastruktur adalah mencakup perubahan cara pandang, ideologi (the way of life), the way of thinking, dan mental masyarakat menuju pengakuan ketauhidan dan keesaan Allah swt. Perubahan pada tingkatan struktur terdiri dari perubahan sistem politik, ekonomi, hukum, dan lain-lain yang diperlukan dalam tatanan penyelenggaraan kekuasaan negara agar berpihak pada kepentingan rakyat. Dengan demikian, revolusi sistemik adalah anti-tesa dari revolusi demokratik yang cenderung menghendaki perubahan-perubahan pada level struktur dan dilakukan oleh kekuatan-kekuatan pro-komunis. Bila digambarkan kedudukan revolusi sistemik dalam anatomi metodologi gerakan HMI-MPO dibandingkan dengan metode gerakan partai-partai komunis adalah sebagai berikut:
HMI-MPO VS Partai-Partai Komunis
Masyarakat beradab Masyarakat komunis
Revolusi sistemik Revolusi demokratik
Komunitas masya pro-perubahan Partai-partai komunis
Cabang berbasis ke-ilmuan Front-front persatuan nasional
Mahasiswa Islam Kelas-kelas sosial: petani, buruh
Sebagaimana digambarkan di muka, revolusi sistemik adalah sebuah metode sekaligus platform perjuangan.yang ditujukan untuk membangun terciptanya tatanan masyarakat yang diridloi Allah Swt atau masyarakat yang beradab. Hal ini berbeda dengan revolusi demokratik yang dimaksudkan untuk membangun terciptanya tatanan masyarakat yang komunis atau sosialis.7 Sistem komunis selalu mencita-citakan terbentuknya tatanan sosial tanpa keberadaan kelas-kelas sosial, hal ini berbeda dengan tatanan masyarakat beradab yang lebih menekankan tatanan masyarakat yang berkeadilan berdasarkan atas nilai-nilai agama. Konsep masyarakat beradab ini tercantum dalam tujuan HMI yaitu ikut bertanggung jawab membentuk tatanan masyarakat yang diridloi Allah Swt.
Desain gerakan berbasis keilmuan akan menopang pilihan positioning HMI-MPO yang secara konsisten berdiri dalam wilayah masyarakat sipil atau civil society centered movement. Selain itu, desain ini akan mendorong kapasitas kader-kader HMI untuk lebih meningkatkan akumulasi intellectual power yangdimilikinya. Hal tersebut akan mentrasformasikan HMI-MPO dari sekedar gerakan oposisi ekstra-parlementer yang berbasis gerakan mahasiswa menjadi gerakan rakyat atau gerakan masyarakat sipil. Salah satu kekurangan atau kelemahan HMI-MPO pada saat ini adalah ketidakmampuannya dalam memanfaatkan kekuatan intelektual yang dimiliki kader-kadernya untuk kepentingan gerakan dalam bentuk advokasi rakyat dari kebijakan-kebijakan negara yang menindas. Hal ini mudah dipahami karena dari tahun 1986-1998 HMI MPO menjadi organisasi gerakan bawah tanah yang kehadirannya dilarang oleh negara. Selain itu, proses perkaderan yang menekankankan pada pembangunan epistemologi hanya mereduksi pembangunan kapasitas intelektual kader-kader HMI. Hal ini dibuktikan dengan kurangnya usaha rekonstruksi sistem ilmu pengetahuan yang telah didekonstruksikan lingkungan perguruan tinggi.
Pemikiran kritis-konstruktif menuntut kemampuan HMI dalam mengartikulasikan kepetingan-kepentingan gerakan rakyat melalui jalur-jalur dialog dan diplomasi terhadap lembaga-lembaga politik resmi seperti pemerintah dan DPR serta pihak-pihak yang berwenang. Proses demokrasi yang sedang berjalan memungkinkan terjadinya dialog antara gerakan rakyat dengan aktor-aktor institusi negara yang pro-reformasi. Hal ini dilakukan bukan untuk kepentingan kooptasi negara tetapi untuk mendesakkan aspirasi dan program-program kerakyatan hasil pemikiran HMI kepada negara. Positioning HMI-MPO bukanlah menjadi agen-agen negara tetapi menjadi penekan kebijakan agar negara mampu mengakomodasi kepentingan rakyat. Kritikan HMI terhadap negara haruslah diikuti dengan rumusan permasalahan yang rasional dan ilmiah dalam artian berbasis pada gerakan intelektual. HMI perlu menjadi fasilitator dan moderator bagi kader-kadernya untuk memberikan usulan perubahan sistem ke-Indonesiaan bagi kaum lemah dan terpinggirkan.
Gerakan intelektual adalah upaya-upaya HMI untuk kembali ke basis mahasiswa yang bervisi profetis. Pengembangan wacana epistemologis dalam gerakan intelektual harus diterjemahkan sampai pada tingkat wacana akademik sehingga ide-ide besar HMI mampu dikembangkan di kampus-kampus, institut-institut, universitas-universitas, dll. Khitah perjuangan dan pedoman pengkaderan harus diarahkan untuk memberikan ruang-ruang yang lebih besar kepada pengembangan intelektual kader sesuai dengan bidang akademik yang dipelajarinya. Cabang-cabang harus mampu menjadi fasilitator komisariat-komisariat pada satu disiplin ilmu tertentu untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan basis keilmuannya dan mampu mengusulkan alternatif perubahan sistem ke-Indonesiaan untuk kaum lemah dan terpinggirkan. ( = digali dari beberapa sumber )
* Mantan Ketua Umum HMI Cabang Sleman Periode 2004/2005