Hari Air dan Mbok Patmi
22 Maret tepatnya diperingati sebagai Hari Air Dunia. Jargon
yang tak lekang oleh waktu adalah “ Save Water For Better Life “. Pihak – pihak
yang biasanya diharuskan melakukan kampanye adalah yang berkepentingan dengan
terjaganya Air. Bisa Kementrian PU dengan program Jambore Sanitasi, Kementrian
kesehatan atau bisa jadi dengan kementrian Lingkungan Hidup dan kehutanan.
Bagaimana dengan Perusahaan – perusahaan yang mengkomersialisasi Air dalam Negeri? Ada *Qua, L*mineral, dan
bermacam – macam merk kemasan plastik yang bisa jadi sampah yang ditimbulkan
lebih mencemari daripada program CSR nya. Re-Use, Re-Cycle, Re-Duce atau
menanam beberapa pohon, cukup hanya terlihat ceremonial apik buat laporan kepada
siapa saja. Tidak seimbang dengan jutaan kubik air yang disedot di hulu dan
tercemari di hilir. Hemmmm ... yang penting untung dan untung, siapa yang nggak
butuh air bersih sich? Apalagi dikemas dengan tambahan mineral basah alami yang
konon ampuh untuk karsiogenik dan segala penyakit asam dari tubuh.
Air dibutuhkan siapa saja, baik manusia, hewan dan tumbuhan
penjaga airpun membutuhkan air. Sawah yang setiap hari berasnya kita makan juga
sangat membutuhkan air untuk tumbuh dan
berbiji. Pakde menggulirkan Dana Desa inipun salah satunya memperkuat Irigasi
agar sawah – sawah itu tidak kering. Yang terlanjur kering bagaimana, buat
sumur – sumur sedot – sedot sampai menunggu musim bersahabat lagi. Ya... Mandiri Pangan, Swasembada pangan mungkin ada
dituangkan dalam Nawacita yang menjadi kitab perjuangan Pakde. Tetapi akan
menjadi sangat rancu dan bertolak belakang
jika kemudian menutup mata pada Ibu – Ibu Kartini dari kendeng yang
dengan keberanian luar biasa mengecor kakinya untuk mengatakan bahwa Karts
Kendeng tidak butuh Pabrik Semen.
Ambisi menjadi Raja Semen Dunia dengan menggenjot
infrastruktur tidak kemudian menutup mata bahwa kebutuhan pangan dan kemandirian pangan adalah sebuah
kebutuhan dasar. Ibu – Ibu ini tidak hanya mengkuatirkan airnya tidak akan
mengalir lagi di sawah – sawahnya. Singkong dan Jagung dikuatirkan akan
mengering dan mati. Bentang alam yang berubah tentunya akan mengganggu daur
hidrologi. Orang – orang pinter ahli prediksi – prediksi itu berbicara sangat
menggiurkan siapapun investornya, 100 tahunpun kapur itu ditambang tidak akan
habis. Artinya Kita yang mati duluan anak cucu kita masih menikmati pabrik
semen terhebat didunia pun dengan mengorek – ngorek bekas tambang bercampur
debu putih nyaris tidak ada hijau - hijaunya.
Apa yang terjadi sekarang dengan MIGAS dan Batubara? Daerah –
daerah yang mengandalkan sektor inipun meradang. Harga murah, ditemukan sumber –
sumber baru belum pula bersaing dengan bioenergi yang sudah mulai familiar,
murah dan diproduksi massal. Ikhlas meninggalkan
biofossil yang memang seharusnya tetap saja menjadi fossil.
Mbok – Mbok yang berjuang di kendeng secara nyata melindungi
air, bukan hanya untuk 100 tahun tetapi untuk anak cucu tak terputus. Karst kendeng
menyimpan sejarah Napak Tilas kelahiran sebuah bangsa dengan budaya yang terus
tumbuh, nisan – nisan kuburan yang ditanam itu dulu tokohnya adalah warga
mencintai jiwa dan raga Tanah air kita. Karst Kendeng tabungan air sebelum
kemarau gilas menguapkan air – air itu, difilter
secara alami oleh karst kemudian saat kemarau disisakannya untuk tetap mengairi sawah, untuk mandi dan yang
pasti “ Untuk Urip Sing Mung Mampir
Ngombe”. Al- Fatehah untuk Mbok Patmi.
#Save_Karst_Kendeng
#Save_Karst_Sangkulirang
http://www.elmoudy.com/pegunungan-kendeng-from-space